Masalah Hadist Shahih Yang Dipermainkan oleh Orang Kafir
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dalam berbagai forum lintas beragama, banyak muncul pertanyaan terutama dari Non Muslim. Ketika mereka melontarkan suatu hadist (kebanyakan isinya bisa dijadikan alat untuk menyerang Islam dan Rasulullah), rekan-rekan Muslim menggugat bahwa hadist tersebut dhaif (palsu) namun non-muslim pun tidak mau mengalah dengan mengatakan bahwa hadist tersebut dari sumber kitab yang shahih, Sebenarnya bagaimanakah cara menentukan suatu hadist shahih atau dhaif tersebut?
Rasulullah pada khotbahnya di Wada’ yaitu
ibadah haji terakhir yang dilakukan Rasulullah sebelum beliau wafat : “Perhatikanlah perkataanku ini wahai manusia, karena telah kusampaikan. Sesungguhnya, aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika engkau berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Sunnah adalah segala perkataan dan tingkah laku Rasulullah, yang diyakini umat islam sebagai contoh sempurna seseorang dalam menjalankan ajaran Islam. Allah sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS Al-Ahzaab ayat 21
Maka apabila Al-Qur’an memerintahkan semua pengikutnya untuk melaksanakan shalat :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. QS Al-Baqarah ayat 43
Misalnya dalam melaksanakan shalat, juklaknya ada dalam hadist :
Shahih Bukhari : dari Sayyar bin Salamah, katanya : “Aku datang dengan ayahku kepada Abu Barzah al Aslami, lalu ayahku bertanya : “bagaimana caranya Rasulullah melakukan shalat wajib..??”. Jawab Abu Barzah : “Nabi melakukan shalat zhuhur ketika matahari tergelincir ke barat, shalat ‘asyar ketika kami kembali dari perjalanan ke ujung kota, sedangkan matahari masih terasa panasnya, dan nabi lebih suka mengundurkan syalat ‘isya namun tidak menyukai tidur sebelum shalat ‘isya, dan selesai shalat shubuh ketika seseorang telah mengenal orang yang duduk disampingnya (sudah ada cahaya matahari pagi), sedangkan Nabi membaca dalam shalat shubuh tersebut sebanyan 60 sampai 100 ayat), sedangkan untuk shalat magrib Abu Sayyar menyatakan lupa apa yang diucapkan Rasulullah.
Shahih Bukhari : Ibnu Umar mengatakan, bahwa Rasulullah bersabda : “Apabila tepi matahari telah muncul hendak terbit, maka tundalah shalat lebih dahulu hingga matahari agak tinggi sedikit dari pinggir langit (waktu shalat Dhuha), dan apabila tepi matahari telah mulai hilang ditepi langit maqka tundalah shalat terlebih dahulu sehingga matahari itu terbenam sama sekali (waktu shalat magrib).
Ini juklak tentang perintah shalat dilihat dari sisi waktunya, adapula hadist tentang tata-cara shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, tempat shalat, dll. Jadi tata cara ritual ibadah dalam islam bukan dikarang-karang sendiri, melainkan ada contohnya dari Rasulullah SAW, itulah gunanya hadist.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. QS Al-Baqarah ayat 196
Juklaknya ada dalam hadist, contohnya ;
Shahih Muslim : Dari Ya’la bin Umayyah, dari bapaknya, katanya : “Rasulullah bersabda : ” tanggalkan jubahmu, cuci cat jenggot dan rambutmu. Lalu apa yang diperbuat dalam haji lakukan pula dalam umrah”.
Itu juklak terkait dengan cat rambut dan pakaian, ada juga juklak soal waktu haji, hal yang membatalkan haji, dll. Jadi umat islam tidak ngarang-ngarang sendiri bagaimana cara melaksanakan ritual ibadah haji, melainkan ada panduannya dari Rasulullah SAW, itulah gunanya hadist. semua ‘juklak’ dari ritual ibadah tersebut dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai sunnah dan dicatat dalam hadist.
Pentingnya Sanad dan MatanKedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:
“Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka,” Abdullah lbnu Mubarak berkata: “Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.”
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Sunnah Rasulullah ditemukan dalam hadist, namun tidak semua hadist berisi Sunnah Nabi, ada juga hadist yang menceritakan tentang ucapan para sahabat yang bercerita seputar kejadian-kejadian disekitar Rasulullah. Setelah wafatnya Rasulullah, ditemukan banyak beredarnya hadist-hadist, termasuk hadist-hadist palsu, yaitu bukan merupakan ucapan dan tingkah laku Nabi, atau kejadian sebenarnya disekitar Nabi, tapi dikatakan berasal dari Rasululllah. Umumnya hadist palsu ini digolongkan kepada 3 hal :
Diproduksi oleh umat Muslim sendiri dengan tujuan untuk menyerang Muslim yang lain, yang merupakan lawan politiknya, seperti pertikaian antara Syiah dengan non Syiah, masing-masing memproduksi hadist palsu untuk mempengaruhi masyarakat bahwa lawannya adalah golongan yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau menyatakan golongannya sendiri yang diakui sebagai Islam yang benar. Contohnya ada hadist :Rasulullah bersabda : “Hai Ali.., sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, ahlimu, kelompokmu dan orang orang yang mencintaimu”. Selain isnadnya yang tidak jelas, isinya juga bertentangan dengan Al-Qur’an.
Atau sebaliknya : Dari Abdullah ibn Abu Aufa, katanya, saya melihat Nabi sedang bersenda gurau dengan Ali, tiba-tiba datang Abu bakar dan Umar menghadap beliau, maka Nabi bersabda : “Wahai Ali, cintailah mereka, dengan demikian engkau akan masuk surga”. Ini juga dikategorikan palsu karena peneliti hadist menemukan isnadnya tidak jelas dan isinya juga ngawur.
Diproduksi oleh Non Muslim yang bermaksud untuk membelokkan ajaran Islam, memproduksi hadist palsu yang berisi ajaran yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah, biasanya merupakan ‘infiltrasi’ ajarannya dan dikemas dengan bunyi hadist yang ‘terlihat Islami’. Contohnya ada hadist favorit yang sering dilantunkan netters non Muslim dibeberapa forum yang berbunyi : “Semua bayi yang baru lahir digoda oleh syaitan, kecuali Isa Almasih dan ibunya”. Lalu dikatakan ini Shahih Bukhari Muslim, padahal tidak ada hadist tersebut dalam kitab Shahih Bukhari Muslim, yang ada justru ; Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah bersabda : “Tidak seorang anakpun yang lahir kecuali dalam keadaan suci bersih. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Biasanya tekhniknya, kedua kalimat ini digabung dan dinyatakan : ini shahih Bukhari Muslim, padahal yang shahihnya itu kalimat kedua, sedangkan kalimat pertama ‘dicantelkan’ dan ‘ikut-ikutan’ menjadi shahih.
Ada juga yang memproduksi hadist palsu dengan tujuan yang baik, maksudnya untuk memperjelas dan memotivasi agar pemeluk Islam makin giat melaksanakan ajaran Islam. Sekalipun maksudnya baik, tapi karena tidak memenuhi syarat sanad dan matannya, para peneliti hadist memasukkannya kedalam hadist palsu. Contohnya :“Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaa haa illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan”. Hadist tersebut dikatakan diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, namun ketika ditanyakan kepada kedua ulama tersebut, mereka mengatakan tidak pernah mengeluarkan atau mendengar dari orang lain hadist yang dimaksud.
Menurut Dr. syamsuddin Arif. MA dalam jurnal triwulan Al-Insan No.2 Vol 1 thn 2005, “Perlu diketahui dan senantiasa diingat bahwa umat Islam, khususnya kaum berilmu alias ulama, dari dulunya (salaf) hingga sekarang (khalaf), tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadist yang ada itu adalah asli atau shahih semua. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadist yang ada itu palsu belaka”.
Hadist dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria :
Dari segi jumlah periwayatnya, dalam menyampaikan sebuah hadist, Rasulullah kadang berhadapan dengan banyak orang, kadang dengan segelintir orang dan bisa juga hanya kepada satu orang saja. Orang-orang tersebut kemudian menyampaikan secara turun-temurun. Hadist yang disampaikan kepada banyak orang disebut hadist muttawatir, ini klasifikasi hadist yang paling berbobot, karena diriwayatkan oleh banyak orang, kecil kemungkinan bahwa banyak orang sepakat berbohong dan mengeluarkan hadist palsu, kalau disampaikan kepada beberapa orang saja disebut hadist mansyur tingkat keshahihannya berada dibawah hadist muttawatir. Kalau disampaikan hanya kepada satu orang disebut hadist ahad tingkat kepercayaan orang terhadap hadist ini tergantung kualitas orang yang meriwayatkannya dan persambungan sanadnya (cara penyampaian). Dari sisi penerimaan dan penolakan, hadist dibagi atas hadist shahih yaitu yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang mempunyai reputasi baik, isi hadist tersebut tidak syadz (tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist lain yang lebih kuat) dan tidak mengandung cacat (tidak ditemukan adanya usaha penipuan dengan cara menyambung sanadnya seolah-olah sampai kepada Rasulullah), ada juga hadist hasan sedikit dibawah hadist shahih, karena dalam periwayatannya ditemukan orang-orang yang ‘agak diragukan’ kredibilitasnya, dan hadist dhaif merupakan lawan dari hadist shahih, sanadnya terputus, orang yang meriwayatkannya tidak dikenal, dll. Bagaimana mengetahui seorang yang meriwayatkan hadist adalah orang baik atau bukan? Dalam ilmu hadist ada suatu cabang ilmu yang khusus menelaah sejarah para perawi (yang meriwayatkan) hadist, yaitu Ilmu Riyal al-Hadist, membicarakan tentang orang-orang yang membawa hadist mulai dari sahabat Rasulullah sampai periwayat terakhir, sejarah hidupnya, reputasinya, dll.
Dari Hadist Turmudzi :Diriwayatkan dari Abu salamah yahya Ibn Khalaf, katanya, telah bercerita kepada saya Bisyr Ibn al-Mufaddal, dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, dari yahya Ibn ‘Ummarah , dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi Muhammad SAW, katanya : “Talqinlah mayitmu dengan Laa Ilaha Illallaah..”
Dari hadist Abu Dawud :Telah bercerita kepada kami, Musaddad, katanya dari Bisyr, katanya dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, katanya dari Yahya ibn ‘Ummarah, katanya dari Abu Sa’id al Khudri, katanyaq Rasulullah pernah bersabda : “Talqinlah mayitmu dengan Laa Ilaha Illalaah..”
Dua hadist ini bunyinya sama, namun dari para periwayatnya ada dua jalur, yang berpisah setelah Bisyr ibn al-Mufaddal, yaitu satu kepada Abu Salamah kemudian dikumpulkan oleh Turmudzi, satu lagi kepada Musaddad dikumpulkan oleh Abu Daud.
Jalur Turmudzi kemudian dianalisa : Al Turmudzi, tercatat sebagai seorang yang mumpuni dan jujur hidup tahun 209-279 H. Turmudzi menerima hadist dari abu Salamah, dalam kitab Tahzib al-tahzib ditemukan nama lengkap tokoh ini Yahya ibn khalaf al-Bahili Abu salamah al-Bishri, tidak disebutkan kapan lahirnya, namun tercatat tanhun kematiannya 242 H, jadi Abu salamah dipastikan bertemu dengan Turmudzi. Kemudian dianalisa orang diatasnya yaitu Bisyr ibn Al-Mufaddal, dalam kitab Tahzib, ada 38 orang yang bernama Bisyr, tapi hanya 1 orang yang ibn al-Mufaddal, tercatat sebagai tokoh yang menerima hadist dari banyak ulama, tidak tercatat kapan lahirnya, namun wafatnya adalah tahun 187 H, jadi tidak jelas apakah Abu salamah pernah bertemu dengan Bisyr ibn al-muhaddad. Setelah ditelusuri sampai keatas, maka hadist ini digolongkan sebagai hadist hasan belum dikategorikan hadist shahih.
Tentu ada pertanyaan, alangkah nyelimetnya, apakah seorang muslim harus meneliti seperti itu??, kalau anda berminat tentu saja dipersilahkan. Anda terbuka untuk meneliti suatu hadist shahih atau tidak dengan cara tersebut. Namun bagi kebanyakan muslim, sudah ada para Ulama Hadist yang melakukan hal itu, dan mengeluarkan buku kumpulan hadist, yaitu :
Imam Bukhari, tercatat ‘mengkoleksi’ ratusan ribu hadist baik yang shahih maupun yang tidak, karena beliau memang dikenal punya ‘hobby’ demikian sejak masa mudanya. Imam Bukhari banyak menulis buku tentang hadist, namun yang menjadi rujukan kaum Muslim sampai sekarang adalah kitab ‘Al jami? al Shahih’ atau populer disebut Shahih Bukhari. Imam Bukhari hanya memasukkan hadist yang dinilainya shahih saja ke dalam bukunya tersebut, tercatat berjumlah 9.082 buah hadist, namun terdapat hadist yang disebut ulang (hadist yang bunyinya sama tapi diriwayatkan oleh jalur yang lain), kalau tidak diulang, jumlah hadistnya adalah 2.602 buah. Namun terdapat pula kritik atas Shahih Bukhari ini, terdapat kira-kira 110 buah hadist yang diragukan para ulama setelahnya, karena kualitas periwayatnya yang dianggap tidak memenuhi syarat, tapi menurut Imam Bukhari sudah memenuhi syarat. Imam Muslim, ada sekitar 20 buku yang ditulis oleh Imam Muslim, namun yang menjadi rujukan umat Islam sampai sekarang adalah kitab ‘Shahih Muslim’ yang berisi 3.030 buah hadist. Namun ulama sesudahnya menyatakan bahwa terdapat sekurang-kurangnya 620 buah diantaranya yang diragukan keabsahannya. Contohnya adalah, terdapat hadist yang berbunyi : “Barang siapa setiap pagi makan tujuh biji kurma, tidak akan dilanda oleh bahaya racun atau sihir pada hari itu hingga malamnya”. Ahmad Amin mengkritik hadist tersebut karena dinilainya tidak masuk akal. Namun al Siba’i melakukan pembelaan bahwa : “sebuah hadist dapat kita terima kebenarannya selama sanadnya shahih dan matannya juga shahih. Persoalannya, pernahkan ahli kedokteran melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran hadist tersebut..?”. Imam Abu Daud, menghasilkan kitab kumpulan hadist dengan fokus pada bidang fiqih (hukum), yang terkenal adalah kitab ‘Sunan Abu Daud’ berisi 4.800 buah hadist. Beliau mengakui bahwa tidak semua hadist dalam kitab tersebut adalah shahih, karenanya dia memberikan catatan terhadap beberapa hadist lemah yang ada di dalamnya. Dalam dunia Islam kitab Sunan Abu Daud ini, diperlakukan berada dibawah kitab shahih Bukhari Muslim. Imam Turmudzi, menghasilkan kitab hadist ‘Sunan al Turmudzi’, memuat 3.956 hadist, di dalam kitab tersebut dimasukkan semua hadistr shahih, hasan (baik) dan dha’if, lalu setiap hadist tersebut diberi catatan dan keterangan. Turmudzi adalah orang yang pertama kali memunculkan istilah hadist hasan (baik) yaitu hadist yang tidak layak digolongkan shahih, tapi juga bukan hadist dha’if. Imam al Nasa’i, menghasilkan kitan hadist ‘Al Sunan al Kubra’ di dalamnya juga dimuat hadist shahih, hasan dan dha’if, lalu beliau menseleksi kembali kitab tersebut untuk memilih hanya hadist yang shahih saja, maka lahirlah kitab ‘Al Sunan al Mujtaba’, tapi ternyata dalam kitab yang terakhir ini ditemukan juga hadist hasan dan dha’if. Imam Ibnu Majah, menghasilkan kitab ‘Sunan Ibnu Majah’ memuat 4.341 buah hadist, Ibnu Majah tidak memberikan catatan tentang hadist yang ada dalam kitab tersebut, maka semua diserahkan kepada pembacanya untuk menilai. Dr. Fuad abdul Baqi mencatat terdapat 199 hadist bernilai hasan, 619 lemah dan 99 buah hadist munkar Dalam dunia Islam, kitab hadist yang terbaik sampai sekarang adalah oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, beliau menjamin bahwa hadist yang ada dalam buku tersebut dikategorikan sebagai hadist shahih. Jadi ‘trend’ orang orang termasuk non muslim dalam forum ini, mengutip suatu hadist, lalu diberi keterangan dalam kurung ‘Bukhari Muslim’, maka salah satu untuk menchecknya, silahkan baca kitab karangan Imam Bukhari yaitu ‘Shahih Bukhari’ dan karangan Imam Muslim yaitu ‘Shahih Muslim’, ada nggak hadistnya disana, kalau ada, apakah bunyinya sama.
Bagi kami pribadi, tidak perlu mempedulikan gugatan non muslim soal shahih atau tidaknya suatu hadist, tentang ‘sekian orang yang masuk surga sekian yang masuk neraka, atau tentang sekian golongan umat Islam, cuma satu golongan yang masuk surga. dll’, kalau mereka bertanya, suruh saja membuka sendiri kitabnya dan mencarinya sendiri, apa benar yang dikutip tersebut ada dalam kitab hadist yang bersangkutan. Yang perlu dipedomani dari suatu hadist adalah : Keterangan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an, sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, sehingga apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah dalam khotbahnya pada haji Wada’ tersebut terlaksana :
Sesungguhnya, aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika engkau berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Dalam berbagai forum lintas beragama, banyak muncul pertanyaan terutama dari Non Muslim. Ketika mereka melontarkan suatu hadist (kebanyakan isinya bisa dijadikan alat untuk menyerang Islam dan Rasulullah), rekan-rekan Muslim menggugat bahwa hadist tersebut dhaif (palsu) namun non-muslim pun tidak mau mengalah dengan mengatakan bahwa hadist tersebut dari sumber kitab yang shahih, Sebenarnya bagaimanakah cara menentukan suatu hadist shahih atau dhaif tersebut?
Rasulullah pada khotbahnya di Wada’ yaitu
ibadah haji terakhir yang dilakukan Rasulullah sebelum beliau wafat : “Perhatikanlah perkataanku ini wahai manusia, karena telah kusampaikan. Sesungguhnya, aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika engkau berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Sunnah adalah segala perkataan dan tingkah laku Rasulullah, yang diyakini umat islam sebagai contoh sempurna seseorang dalam menjalankan ajaran Islam. Allah sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS Al-Ahzaab ayat 21
Maka apabila Al-Qur’an memerintahkan semua pengikutnya untuk melaksanakan shalat :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. QS Al-Baqarah ayat 43
Misalnya dalam melaksanakan shalat, juklaknya ada dalam hadist :
Shahih Bukhari : dari Sayyar bin Salamah, katanya : “Aku datang dengan ayahku kepada Abu Barzah al Aslami, lalu ayahku bertanya : “bagaimana caranya Rasulullah melakukan shalat wajib..??”. Jawab Abu Barzah : “Nabi melakukan shalat zhuhur ketika matahari tergelincir ke barat, shalat ‘asyar ketika kami kembali dari perjalanan ke ujung kota, sedangkan matahari masih terasa panasnya, dan nabi lebih suka mengundurkan syalat ‘isya namun tidak menyukai tidur sebelum shalat ‘isya, dan selesai shalat shubuh ketika seseorang telah mengenal orang yang duduk disampingnya (sudah ada cahaya matahari pagi), sedangkan Nabi membaca dalam shalat shubuh tersebut sebanyan 60 sampai 100 ayat), sedangkan untuk shalat magrib Abu Sayyar menyatakan lupa apa yang diucapkan Rasulullah.
Shahih Bukhari : Ibnu Umar mengatakan, bahwa Rasulullah bersabda : “Apabila tepi matahari telah muncul hendak terbit, maka tundalah shalat lebih dahulu hingga matahari agak tinggi sedikit dari pinggir langit (waktu shalat Dhuha), dan apabila tepi matahari telah mulai hilang ditepi langit maqka tundalah shalat terlebih dahulu sehingga matahari itu terbenam sama sekali (waktu shalat magrib).
Ini juklak tentang perintah shalat dilihat dari sisi waktunya, adapula hadist tentang tata-cara shalat, hal-hal yang membatalkan shalat, tempat shalat, dll. Jadi tata cara ritual ibadah dalam islam bukan dikarang-karang sendiri, melainkan ada contohnya dari Rasulullah SAW, itulah gunanya hadist.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. QS Al-Baqarah ayat 196
Juklaknya ada dalam hadist, contohnya ;
Shahih Muslim : Dari Ya’la bin Umayyah, dari bapaknya, katanya : “Rasulullah bersabda : ” tanggalkan jubahmu, cuci cat jenggot dan rambutmu. Lalu apa yang diperbuat dalam haji lakukan pula dalam umrah”.
Itu juklak terkait dengan cat rambut dan pakaian, ada juga juklak soal waktu haji, hal yang membatalkan haji, dll. Jadi umat islam tidak ngarang-ngarang sendiri bagaimana cara melaksanakan ritual ibadah haji, melainkan ada panduannya dari Rasulullah SAW, itulah gunanya hadist. semua ‘juklak’ dari ritual ibadah tersebut dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai sunnah dan dicatat dalam hadist.
Pentingnya Sanad dan MatanKedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:
“Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka,” Abdullah lbnu Mubarak berkata: “Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.”
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Sunnah Rasulullah ditemukan dalam hadist, namun tidak semua hadist berisi Sunnah Nabi, ada juga hadist yang menceritakan tentang ucapan para sahabat yang bercerita seputar kejadian-kejadian disekitar Rasulullah. Setelah wafatnya Rasulullah, ditemukan banyak beredarnya hadist-hadist, termasuk hadist-hadist palsu, yaitu bukan merupakan ucapan dan tingkah laku Nabi, atau kejadian sebenarnya disekitar Nabi, tapi dikatakan berasal dari Rasululllah. Umumnya hadist palsu ini digolongkan kepada 3 hal :
Diproduksi oleh umat Muslim sendiri dengan tujuan untuk menyerang Muslim yang lain, yang merupakan lawan politiknya, seperti pertikaian antara Syiah dengan non Syiah, masing-masing memproduksi hadist palsu untuk mempengaruhi masyarakat bahwa lawannya adalah golongan yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau menyatakan golongannya sendiri yang diakui sebagai Islam yang benar. Contohnya ada hadist :Rasulullah bersabda : “Hai Ali.., sesungguhnya Allah telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu, ahlimu, kelompokmu dan orang orang yang mencintaimu”. Selain isnadnya yang tidak jelas, isinya juga bertentangan dengan Al-Qur’an.
Atau sebaliknya : Dari Abdullah ibn Abu Aufa, katanya, saya melihat Nabi sedang bersenda gurau dengan Ali, tiba-tiba datang Abu bakar dan Umar menghadap beliau, maka Nabi bersabda : “Wahai Ali, cintailah mereka, dengan demikian engkau akan masuk surga”. Ini juga dikategorikan palsu karena peneliti hadist menemukan isnadnya tidak jelas dan isinya juga ngawur.
Diproduksi oleh Non Muslim yang bermaksud untuk membelokkan ajaran Islam, memproduksi hadist palsu yang berisi ajaran yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah, biasanya merupakan ‘infiltrasi’ ajarannya dan dikemas dengan bunyi hadist yang ‘terlihat Islami’. Contohnya ada hadist favorit yang sering dilantunkan netters non Muslim dibeberapa forum yang berbunyi : “Semua bayi yang baru lahir digoda oleh syaitan, kecuali Isa Almasih dan ibunya”. Lalu dikatakan ini Shahih Bukhari Muslim, padahal tidak ada hadist tersebut dalam kitab Shahih Bukhari Muslim, yang ada justru ; Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah bersabda : “Tidak seorang anakpun yang lahir kecuali dalam keadaan suci bersih. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Biasanya tekhniknya, kedua kalimat ini digabung dan dinyatakan : ini shahih Bukhari Muslim, padahal yang shahihnya itu kalimat kedua, sedangkan kalimat pertama ‘dicantelkan’ dan ‘ikut-ikutan’ menjadi shahih.
Ada juga yang memproduksi hadist palsu dengan tujuan yang baik, maksudnya untuk memperjelas dan memotivasi agar pemeluk Islam makin giat melaksanakan ajaran Islam. Sekalipun maksudnya baik, tapi karena tidak memenuhi syarat sanad dan matannya, para peneliti hadist memasukkannya kedalam hadist palsu. Contohnya :“Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaa haa illa Allah, maka untuk setiap kata yang diucapkan itu ia telah menciptakan seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan sayapnya terbuat dari marjan”. Hadist tersebut dikatakan diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in, namun ketika ditanyakan kepada kedua ulama tersebut, mereka mengatakan tidak pernah mengeluarkan atau mendengar dari orang lain hadist yang dimaksud.
Menurut Dr. syamsuddin Arif. MA dalam jurnal triwulan Al-Insan No.2 Vol 1 thn 2005, “Perlu diketahui dan senantiasa diingat bahwa umat Islam, khususnya kaum berilmu alias ulama, dari dulunya (salaf) hingga sekarang (khalaf), tidak pernah ada yang meyakini dan mengatakan bahwa seluruh hadist yang ada itu adalah asli atau shahih semua. Sebaliknya, tidak ada pula yang berkeyakinan bahwa semua hadist yang ada itu palsu belaka”.
Hadist dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria :
Dari segi jumlah periwayatnya, dalam menyampaikan sebuah hadist, Rasulullah kadang berhadapan dengan banyak orang, kadang dengan segelintir orang dan bisa juga hanya kepada satu orang saja. Orang-orang tersebut kemudian menyampaikan secara turun-temurun. Hadist yang disampaikan kepada banyak orang disebut hadist muttawatir, ini klasifikasi hadist yang paling berbobot, karena diriwayatkan oleh banyak orang, kecil kemungkinan bahwa banyak orang sepakat berbohong dan mengeluarkan hadist palsu, kalau disampaikan kepada beberapa orang saja disebut hadist mansyur tingkat keshahihannya berada dibawah hadist muttawatir. Kalau disampaikan hanya kepada satu orang disebut hadist ahad tingkat kepercayaan orang terhadap hadist ini tergantung kualitas orang yang meriwayatkannya dan persambungan sanadnya (cara penyampaian). Dari sisi penerimaan dan penolakan, hadist dibagi atas hadist shahih yaitu yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang mempunyai reputasi baik, isi hadist tersebut tidak syadz (tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist lain yang lebih kuat) dan tidak mengandung cacat (tidak ditemukan adanya usaha penipuan dengan cara menyambung sanadnya seolah-olah sampai kepada Rasulullah), ada juga hadist hasan sedikit dibawah hadist shahih, karena dalam periwayatannya ditemukan orang-orang yang ‘agak diragukan’ kredibilitasnya, dan hadist dhaif merupakan lawan dari hadist shahih, sanadnya terputus, orang yang meriwayatkannya tidak dikenal, dll. Bagaimana mengetahui seorang yang meriwayatkan hadist adalah orang baik atau bukan? Dalam ilmu hadist ada suatu cabang ilmu yang khusus menelaah sejarah para perawi (yang meriwayatkan) hadist, yaitu Ilmu Riyal al-Hadist, membicarakan tentang orang-orang yang membawa hadist mulai dari sahabat Rasulullah sampai periwayat terakhir, sejarah hidupnya, reputasinya, dll.
Dari Hadist Turmudzi :Diriwayatkan dari Abu salamah yahya Ibn Khalaf, katanya, telah bercerita kepada saya Bisyr Ibn al-Mufaddal, dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, dari yahya Ibn ‘Ummarah , dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi Muhammad SAW, katanya : “Talqinlah mayitmu dengan Laa Ilaha Illallaah..”
Dari hadist Abu Dawud :Telah bercerita kepada kami, Musaddad, katanya dari Bisyr, katanya dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, katanya dari Yahya ibn ‘Ummarah, katanya dari Abu Sa’id al Khudri, katanyaq Rasulullah pernah bersabda : “Talqinlah mayitmu dengan Laa Ilaha Illalaah..”
Dua hadist ini bunyinya sama, namun dari para periwayatnya ada dua jalur, yang berpisah setelah Bisyr ibn al-Mufaddal, yaitu satu kepada Abu Salamah kemudian dikumpulkan oleh Turmudzi, satu lagi kepada Musaddad dikumpulkan oleh Abu Daud.
Jalur Turmudzi kemudian dianalisa : Al Turmudzi, tercatat sebagai seorang yang mumpuni dan jujur hidup tahun 209-279 H. Turmudzi menerima hadist dari abu Salamah, dalam kitab Tahzib al-tahzib ditemukan nama lengkap tokoh ini Yahya ibn khalaf al-Bahili Abu salamah al-Bishri, tidak disebutkan kapan lahirnya, namun tercatat tanhun kematiannya 242 H, jadi Abu salamah dipastikan bertemu dengan Turmudzi. Kemudian dianalisa orang diatasnya yaitu Bisyr ibn Al-Mufaddal, dalam kitab Tahzib, ada 38 orang yang bernama Bisyr, tapi hanya 1 orang yang ibn al-Mufaddal, tercatat sebagai tokoh yang menerima hadist dari banyak ulama, tidak tercatat kapan lahirnya, namun wafatnya adalah tahun 187 H, jadi tidak jelas apakah Abu salamah pernah bertemu dengan Bisyr ibn al-muhaddad. Setelah ditelusuri sampai keatas, maka hadist ini digolongkan sebagai hadist hasan belum dikategorikan hadist shahih.
Tentu ada pertanyaan, alangkah nyelimetnya, apakah seorang muslim harus meneliti seperti itu??, kalau anda berminat tentu saja dipersilahkan. Anda terbuka untuk meneliti suatu hadist shahih atau tidak dengan cara tersebut. Namun bagi kebanyakan muslim, sudah ada para Ulama Hadist yang melakukan hal itu, dan mengeluarkan buku kumpulan hadist, yaitu :
Imam Bukhari, tercatat ‘mengkoleksi’ ratusan ribu hadist baik yang shahih maupun yang tidak, karena beliau memang dikenal punya ‘hobby’ demikian sejak masa mudanya. Imam Bukhari banyak menulis buku tentang hadist, namun yang menjadi rujukan kaum Muslim sampai sekarang adalah kitab ‘Al jami? al Shahih’ atau populer disebut Shahih Bukhari. Imam Bukhari hanya memasukkan hadist yang dinilainya shahih saja ke dalam bukunya tersebut, tercatat berjumlah 9.082 buah hadist, namun terdapat hadist yang disebut ulang (hadist yang bunyinya sama tapi diriwayatkan oleh jalur yang lain), kalau tidak diulang, jumlah hadistnya adalah 2.602 buah. Namun terdapat pula kritik atas Shahih Bukhari ini, terdapat kira-kira 110 buah hadist yang diragukan para ulama setelahnya, karena kualitas periwayatnya yang dianggap tidak memenuhi syarat, tapi menurut Imam Bukhari sudah memenuhi syarat. Imam Muslim, ada sekitar 20 buku yang ditulis oleh Imam Muslim, namun yang menjadi rujukan umat Islam sampai sekarang adalah kitab ‘Shahih Muslim’ yang berisi 3.030 buah hadist. Namun ulama sesudahnya menyatakan bahwa terdapat sekurang-kurangnya 620 buah diantaranya yang diragukan keabsahannya. Contohnya adalah, terdapat hadist yang berbunyi : “Barang siapa setiap pagi makan tujuh biji kurma, tidak akan dilanda oleh bahaya racun atau sihir pada hari itu hingga malamnya”. Ahmad Amin mengkritik hadist tersebut karena dinilainya tidak masuk akal. Namun al Siba’i melakukan pembelaan bahwa : “sebuah hadist dapat kita terima kebenarannya selama sanadnya shahih dan matannya juga shahih. Persoalannya, pernahkan ahli kedokteran melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran hadist tersebut..?”. Imam Abu Daud, menghasilkan kitab kumpulan hadist dengan fokus pada bidang fiqih (hukum), yang terkenal adalah kitab ‘Sunan Abu Daud’ berisi 4.800 buah hadist. Beliau mengakui bahwa tidak semua hadist dalam kitab tersebut adalah shahih, karenanya dia memberikan catatan terhadap beberapa hadist lemah yang ada di dalamnya. Dalam dunia Islam kitab Sunan Abu Daud ini, diperlakukan berada dibawah kitab shahih Bukhari Muslim. Imam Turmudzi, menghasilkan kitab hadist ‘Sunan al Turmudzi’, memuat 3.956 hadist, di dalam kitab tersebut dimasukkan semua hadistr shahih, hasan (baik) dan dha’if, lalu setiap hadist tersebut diberi catatan dan keterangan. Turmudzi adalah orang yang pertama kali memunculkan istilah hadist hasan (baik) yaitu hadist yang tidak layak digolongkan shahih, tapi juga bukan hadist dha’if. Imam al Nasa’i, menghasilkan kitan hadist ‘Al Sunan al Kubra’ di dalamnya juga dimuat hadist shahih, hasan dan dha’if, lalu beliau menseleksi kembali kitab tersebut untuk memilih hanya hadist yang shahih saja, maka lahirlah kitab ‘Al Sunan al Mujtaba’, tapi ternyata dalam kitab yang terakhir ini ditemukan juga hadist hasan dan dha’if. Imam Ibnu Majah, menghasilkan kitab ‘Sunan Ibnu Majah’ memuat 4.341 buah hadist, Ibnu Majah tidak memberikan catatan tentang hadist yang ada dalam kitab tersebut, maka semua diserahkan kepada pembacanya untuk menilai. Dr. Fuad abdul Baqi mencatat terdapat 199 hadist bernilai hasan, 619 lemah dan 99 buah hadist munkar Dalam dunia Islam, kitab hadist yang terbaik sampai sekarang adalah oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, beliau menjamin bahwa hadist yang ada dalam buku tersebut dikategorikan sebagai hadist shahih. Jadi ‘trend’ orang orang termasuk non muslim dalam forum ini, mengutip suatu hadist, lalu diberi keterangan dalam kurung ‘Bukhari Muslim’, maka salah satu untuk menchecknya, silahkan baca kitab karangan Imam Bukhari yaitu ‘Shahih Bukhari’ dan karangan Imam Muslim yaitu ‘Shahih Muslim’, ada nggak hadistnya disana, kalau ada, apakah bunyinya sama.
Bagi kami pribadi, tidak perlu mempedulikan gugatan non muslim soal shahih atau tidaknya suatu hadist, tentang ‘sekian orang yang masuk surga sekian yang masuk neraka, atau tentang sekian golongan umat Islam, cuma satu golongan yang masuk surga. dll’, kalau mereka bertanya, suruh saja membuka sendiri kitabnya dan mencarinya sendiri, apa benar yang dikutip tersebut ada dalam kitab hadist yang bersangkutan. Yang perlu dipedomani dari suatu hadist adalah : Keterangan untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an, sesuai yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, sehingga apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah dalam khotbahnya pada haji Wada’ tersebut terlaksana :
Sesungguhnya, aku tinggalkan kepadamu sesuatu yang jika engkau berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, suatu urusan yang terang nyata, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar