IKHTILATH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
1 Pengertian Ikhtilath
Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162).
Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421).
2 Hukum Ikhtilath
Ikhtilath hukumnya adalah haram secara mutlak, adapun dalil-dalilnya adalah:
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 53:
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzāb: 53)
Ayat ini walaupun diturunkan kepada isteri-isteri Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- namun mencakup pula untuk semua umat Islam, karena telah tetap dalam qaidah Syar’iyyah: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn -rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhusuan sebab.”(Ushūl fit Tafsīr, hal. 13).
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullah- juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri lelaki. Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8).
Asy-Syaikh DR. Shālih bin Fauzān Al-Fauzān -hafizhahullah- berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun hukumnya umum untuk seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah ta`ala dengan firman-Nya: “Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (Al-Mukminat, hal. 64)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata: “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan selain mereka dari kalangan wanita-wanita kaum mukminin” (Hukmus Sufur wal Hijab, hal. 58).
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Anas bin Malik -radliallahu ‘anhu- bercerita tentang awal mula turunnya perintah hijab ini: “Aku berusia sepuluh tahun tatkala Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hijrah ke Madinah. Maka mulailah aku melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau. Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab, bertepatan dengan pernikahan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan Zainab bintu Jahsyin. Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengadakan walimah dengan menyajikan roti dan gandum. Aku pun diutus untuk mengundang para shahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil semua shahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah menyantap hidangan. Aku katakan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, aku tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap hidangan walimah ini.” Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Bila demikian, angkatlah makanan kalian.” Di antara para undangan ada tiga orang yang belum beranjak dari tempat tinggal Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, mereka asyik berbincang-bincang, hingga tinggal lama di tempat beliau.
Beliau pun bangkit dan keluar. Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal tersebut merasa dan berpikir untuk keluar. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berjalan, aku pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah -radhiallhu ‘anha-.
Lalu berkata: “Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wahai ahlul bait.” ‘Aisyah menjawab: “Wa`alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah memberkahimu.” Setelah itu beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan sebagaimana perkataan beliau kepada ‘Aisyah dan mereka pun mengucapkan kepada beliau semisal dengan ucapan ‘Aisyah . Beliau menyangka tiga orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi. Sementara Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang sangat pemalu . Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah.
Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliaupun kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat An-Nūr: 30-31
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah -pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nūr: 30-31)
Al-Hafidz Ibnu Katsir -rahimahullah berkata: “Allah menyatakan: ‘Jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)’, yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki yang bukan mahram kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, seperti rida dan tsiyab yang dikatakan Ibnu Mas’ud.” (Tafsīr Al-Qur’ānil ‘Azhīm: 3/294).
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam ayat di atas memerintahkan kaum wanita agar tidak memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah mengecualikan perhiasan yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa nampak dan tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang dzahir (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun yang bukan mahram, adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan kecuali di hadapan orang-orang yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. (Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’ān: 12/152).
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (An-Nūr: 30)
Al-Imam Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata: “Allah Azza wa Jalla- memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah memerintahkan wanita-wanita mukminah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mukminah untuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 2/227).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata:
“Mayoritas úlama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat.” (Tafīr Al-Qur’an Al ‘Adzīm: 3/35).
Al-Imam Asy-Syaukany -rahimahullah- berkata: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsīr Fathul Qadīr: 4/32).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata:
“Mayoritas ulama menyatakan haram bagi wanita memandang kepada selain mahramnya baik dengan syahwat
atau pun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka mengatakan bahwa haram bagi wanita memandang dengan syahwat, adapun jika tanpa syahwat maka boleh.” (Lihat Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/354).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- telah menukil kesepakan ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat dan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah haram, dengan dasar dalil pada surat An-Nūr ayat 31 dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummu Salamah. Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
“Aku pernah bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktūm dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Berhijablah kalian darinya!” maka kami berkata: “Bukankah Ibnu Ummi Maktūm adalah orang yang buta? Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah kalian berdua buta?” Bukankah kalian dapat melihatnya?” (HR. Abu Dawud no. 4112, At-Tirmidzi no. 2778, An-Nasaì dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296 dan Al-Baihaqi: 7/91.
Al-Imam An-Nawawi menghasankan hadits ini. Dan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddīn Al-Albani mendho’ifkan hadits ini di dalam kitabnya Al-Irwa’ no. 1806, karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang majhūl yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah).
Adapun dalil orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram dengan tanpa syahwat adalah hadits Àisyah -radhiyallahu ‘anha- ia berkata: “Aku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di pintu kamarku dan orang-orang Habasya bermain dalam masjid Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Adapun hadits yang menceritakan tentang Àisyah -radhiyallahu ‘anha- melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid ada beberapa kemungkinan, diantaranya pada saat itu Àisyah -radhiyallahu ‘anha- masih belum baliqh.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits Àisyah -radhiyallahu ‘anha- tersebut kemungkinannya pada saat itu Àisyah -radhiyallahu ‘anha- hanya melihat permainan mereka bukan melihat wajah dan badannya mereka dan apabila Àisyah -radhiyallahu ‘anha- sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya Àisyah -radhiyallahu ‘anha- akan memalingkan pandangannya setelah itu.” (Al-Fath: 2/5).
Adapun jika pandangan itu tiba-tiba kemudian memalingkan pandangan dan tanpa maksud tertentu maka tidak apa-apa, sebagaimana hadits Jarīr bin Abdillah, beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang memandang secara tiba-tiba, maka memberi perintah: “Palingkan pandanganmu!” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tidak ada dosa. Adapun selain itu, apabila meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim: 4/197).
Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithy berkata: “Surat An-Nūr ayat 31 ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, hal ini berdasarkan firman Allah -Azza wa Jalla-: “Dia mengetahui khianatnya pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(Ghafīr: 19).
Asy-Syaikh Salim Ied Al-Hilaly berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak sengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah termasuk dosa.” (Lihat Bahjatun Nādzirīn: 3/145-146).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 33
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu.” (Al-Ahzāb: 33).
Al-Imam Al-Qurtuby rahimahullah- berkata: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap diam dan tinggal dirumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun maknanya masuk juga isteri-isteri selain Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 4/179).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Isra’: 32
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina!” (Al-Isra’: 32).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata: “Bahwa Allah Azza wa Jalla- mengharamkan zina, begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalawat, tabarruj dan selainnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/39).
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya Allah -‘azza wa jalla- telah menetapkan bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dalam Fathul Bāriy hal. 30).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Makna hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina, maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki yaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (baginya). Dan di antara mereka ada yang zinanya majazi yaitu dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan hal-hal yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan dimana tangannya meraba perempuan yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ketempat berzina, atau untuk melihat zina atau untuk menyentuh wanita yang bukan mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahram dan yang semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Maka semuanya ini termasuk zina yang majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan dalam kemaluan yang haram sekalipun dekat dengannya.” (Syarh Shahih Muslim: 16/206).
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya zina tidak khusus pengitlakkan hanya pada kemaluan, bahkan dia termasuk pengitlakkan atas apa-apa yang selain dari kemaluan baik mata atau yang selainnya.” (Fathul Bāriy, hal. 30)
Ibnu Baththal -rahimahullah- berkata: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena semuanya itu mengajak kepada zina yang hakiki (dan kemaluan yang membenarkan atau mendustakannya).” (Fathul Bāriy, hal. 31).
Al-Imam Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata: “Pandangan mata adalah asal dari seluruh bencana yang menimpa manusia. Dari pandangan akan melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati akan melahirkan pikiran, sehingga timbul syahwat. Dan dari syahwat lahir keinginan yang kuat yang akan menjadi kemantapan yang kokoh, dari sini pasti akan terjadi perbuatan di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah dan menahannya. Karena itulah bersabar menahan pandangan itu lebih mudah dari pada bersabar menanggung kepedihan setelahnya.”
Seorang penyair berkata:
Setiap kejadian berawal dari pandangan
dan api yang besar itu berasal dari
percikan bunga api yang dianggap kecil
Berapa banyak pandangan mata itu
mencapai kehati pemiliknya
seperti busur dan tali busurnya
Selama seseorang hamba membolak-balikkan
pandangannya menatap manusia,
dia berdiri di atas bahaya
pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,
hunjaman yang memudharatkan.”
(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234).
3 Adakah Ibadah Dilaksankan dengan Berikhtilath?
-Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).
- Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-).
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim dan As-Sirājul Munīr fī Ahkāmis Shalati wal Imāmi wal Ma’mumīn, hal. 231-232).
Al-Imam Ash-Shan’any -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Lihat Subulus-Salām)
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar: 3/189).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).
-Ummul Mukminin Àisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Bukhari)
Hadits ini serupa dengan hadits Ummu Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bila mereka salam dari shalat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta orang-orang yang shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).
Al-Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).
- Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri pada Iedul Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.” (Lihat Fathul Bāry: 2/66).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim: 2/535).
- Ummul Mukminin Àisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk berjihad, maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabad: “Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah -radhiyallahu ‘anha-).
Ibnu Baththal -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76).
4 Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.
Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik. Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam. Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
Wallahu A’lam.
Ikhtilath antara Lawan Jenis
Ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.
Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh1 rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.”
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anahu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan,
“Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma berkata,
“Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anaha istri Abu Humaid As-Sa'idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan,
“Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu'ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma'rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata,
“Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir.
Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar'i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan'ani rahimahullahu menyatakan,
“Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.
3. Zainab radhiyallahu ‘anaha istri Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anahu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula,
“Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.
4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?
5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.
6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:
اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”
Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)
Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.
7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anaha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”
Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anahu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ
“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya3.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.
Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar'awi, dan selain mereka –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa, rasa’il dan masa’il yang telah dicetak berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.
2 Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
3 Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi. Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka, niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan. Sungguh telah sampai berita kepada kami ada tokoh besar di Al-Azhar terlihat berjabat tangan dengan wanita, maka hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan keasingan ajaran Islam. Bahkan sebagian partai Islam berpendapat bolehnya berjabat tangan dengan wanita….” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
bersambung kebawah......
Sumber :
Abul Abbas Khidhr Al-Limbury
(Dinukil dari الإنتصار لحقوق المؤمنات (Persembahan Untukmu, Duhai Muslimah (Sebuah Pembelaan terhadap Hak-hak Wanita menurut Aturan Syari’at)); pasal Ikhtilath dan Bahayanya, karya Ummu Salamah As-Salafiyyah, hal. 253-261, penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein Al-Atsariyyah)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
1 Pengertian Ikhtilath
Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162).
Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421).
2 Hukum Ikhtilath
Ikhtilath hukumnya adalah haram secara mutlak, adapun dalil-dalilnya adalah:
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 53:
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzāb: 53)
Ayat ini walaupun diturunkan kepada isteri-isteri Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- namun mencakup pula untuk semua umat Islam, karena telah tetap dalam qaidah Syar’iyyah: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn -rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhusuan sebab.”(Ushūl fit Tafsīr, hal. 13).
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullah- juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri lelaki. Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8).
Asy-Syaikh DR. Shālih bin Fauzān Al-Fauzān -hafizhahullah- berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun hukumnya umum untuk seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah ta`ala dengan firman-Nya: “Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (Al-Mukminat, hal. 64)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata: “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan selain mereka dari kalangan wanita-wanita kaum mukminin” (Hukmus Sufur wal Hijab, hal. 58).
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz -rahimahullah- berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Anas bin Malik -radliallahu ‘anhu- bercerita tentang awal mula turunnya perintah hijab ini: “Aku berusia sepuluh tahun tatkala Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hijrah ke Madinah. Maka mulailah aku melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau. Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab, bertepatan dengan pernikahan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan Zainab bintu Jahsyin. Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengadakan walimah dengan menyajikan roti dan gandum. Aku pun diutus untuk mengundang para shahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil semua shahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah menyantap hidangan. Aku katakan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, aku tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap hidangan walimah ini.” Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Bila demikian, angkatlah makanan kalian.” Di antara para undangan ada tiga orang yang belum beranjak dari tempat tinggal Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, mereka asyik berbincang-bincang, hingga tinggal lama di tempat beliau.
Beliau pun bangkit dan keluar. Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal tersebut merasa dan berpikir untuk keluar. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berjalan, aku pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah -radhiallhu ‘anha-.
Lalu berkata: “Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wahai ahlul bait.” ‘Aisyah menjawab: “Wa`alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah memberkahimu.” Setelah itu beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan sebagaimana perkataan beliau kepada ‘Aisyah dan mereka pun mengucapkan kepada beliau semisal dengan ucapan ‘Aisyah . Beliau menyangka tiga orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi. Sementara Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang sangat pemalu . Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah.
Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliaupun kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat An-Nūr: 30-31
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah -pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nūr: 30-31)
Al-Hafidz Ibnu Katsir -rahimahullah berkata: “Allah menyatakan: ‘Jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)’, yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki yang bukan mahram kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, seperti rida dan tsiyab yang dikatakan Ibnu Mas’ud.” (Tafsīr Al-Qur’ānil ‘Azhīm: 3/294).
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam ayat di atas memerintahkan kaum wanita agar tidak memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah mengecualikan perhiasan yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa nampak dan tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang dzahir (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun yang bukan mahram, adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan kecuali di hadapan orang-orang yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. (Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’ān: 12/152).
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (An-Nūr: 30)
Al-Imam Al-Qurthuby -rahimahullah- berkata: “Allah Azza wa Jalla- memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah memerintahkan wanita-wanita mukminah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mukminah untuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 2/227).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata:
“Mayoritas úlama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat.” (Tafīr Al-Qur’an Al ‘Adzīm: 3/35).
Al-Imam Asy-Syaukany -rahimahullah- berkata: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsīr Fathul Qadīr: 4/32).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata:
“Mayoritas ulama menyatakan haram bagi wanita memandang kepada selain mahramnya baik dengan syahwat
atau pun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka mengatakan bahwa haram bagi wanita memandang dengan syahwat, adapun jika tanpa syahwat maka boleh.” (Lihat Tafsīr Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/354).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- telah menukil kesepakan ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat dan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah haram, dengan dasar dalil pada surat An-Nūr ayat 31 dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummu Salamah. Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anha- berkata:
“Aku pernah bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktūm dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Berhijablah kalian darinya!” maka kami berkata: “Bukankah Ibnu Ummi Maktūm adalah orang yang buta? Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah kalian berdua buta?” Bukankah kalian dapat melihatnya?” (HR. Abu Dawud no. 4112, At-Tirmidzi no. 2778, An-Nasaì dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296 dan Al-Baihaqi: 7/91.
Al-Imam An-Nawawi menghasankan hadits ini. Dan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddīn Al-Albani mendho’ifkan hadits ini di dalam kitabnya Al-Irwa’ no. 1806, karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang majhūl yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah).
Adapun dalil orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram dengan tanpa syahwat adalah hadits Àisyah -radhiyallahu ‘anha- ia berkata: “Aku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di pintu kamarku dan orang-orang Habasya bermain dalam masjid Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Adapun hadits yang menceritakan tentang Àisyah -radhiyallahu ‘anha- melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid ada beberapa kemungkinan, diantaranya pada saat itu Àisyah -radhiyallahu ‘anha- masih belum baliqh.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits Àisyah -radhiyallahu ‘anha- tersebut kemungkinannya pada saat itu Àisyah -radhiyallahu ‘anha- hanya melihat permainan mereka bukan melihat wajah dan badannya mereka dan apabila Àisyah -radhiyallahu ‘anha- sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya Àisyah -radhiyallahu ‘anha- akan memalingkan pandangannya setelah itu.” (Al-Fath: 2/5).
Adapun jika pandangan itu tiba-tiba kemudian memalingkan pandangan dan tanpa maksud tertentu maka tidak apa-apa, sebagaimana hadits Jarīr bin Abdillah, beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang memandang secara tiba-tiba, maka memberi perintah: “Palingkan pandanganmu!” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tidak ada dosa. Adapun selain itu, apabila meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim: 4/197).
Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithy berkata: “Surat An-Nūr ayat 31 ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, hal ini berdasarkan firman Allah -Azza wa Jalla-: “Dia mengetahui khianatnya pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(Ghafīr: 19).
Asy-Syaikh Salim Ied Al-Hilaly berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak sengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah termasuk dosa.” (Lihat Bahjatun Nādzirīn: 3/145-146).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzāb: 33
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu.” (Al-Ahzāb: 33).
Al-Imam Al-Qurtuby rahimahullah- berkata: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap diam dan tinggal dirumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun maknanya masuk juga isteri-isteri selain Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” (Tafsīr Al-Qurtuby: 4/179).
- Firman Allah -Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Isra’: 32
Allah -Azza wa Jalla- berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina!” (Al-Isra’: 32).
Al-Hafidz Ibnu Katsīr -rahimahullah- berkata: “Bahwa Allah Azza wa Jalla- mengharamkan zina, begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalawat, tabarruj dan selainnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzīm: 3/39).
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya Allah -‘azza wa jalla- telah menetapkan bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dalam Fathul Bāriy hal. 30).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Makna hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina, maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki yaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (baginya). Dan di antara mereka ada yang zinanya majazi yaitu dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan hal-hal yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan dimana tangannya meraba perempuan yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ketempat berzina, atau untuk melihat zina atau untuk menyentuh wanita yang bukan mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahram dan yang semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Maka semuanya ini termasuk zina yang majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan dalam kemaluan yang haram sekalipun dekat dengannya.” (Syarh Shahih Muslim: 16/206).
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya zina tidak khusus pengitlakkan hanya pada kemaluan, bahkan dia termasuk pengitlakkan atas apa-apa yang selain dari kemaluan baik mata atau yang selainnya.” (Fathul Bāriy, hal. 30)
Ibnu Baththal -rahimahullah- berkata: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena semuanya itu mengajak kepada zina yang hakiki (dan kemaluan yang membenarkan atau mendustakannya).” (Fathul Bāriy, hal. 31).
Al-Imam Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata: “Pandangan mata adalah asal dari seluruh bencana yang menimpa manusia. Dari pandangan akan melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati akan melahirkan pikiran, sehingga timbul syahwat. Dan dari syahwat lahir keinginan yang kuat yang akan menjadi kemantapan yang kokoh, dari sini pasti akan terjadi perbuatan di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah dan menahannya. Karena itulah bersabar menahan pandangan itu lebih mudah dari pada bersabar menanggung kepedihan setelahnya.”
Seorang penyair berkata:
Setiap kejadian berawal dari pandangan
dan api yang besar itu berasal dari
percikan bunga api yang dianggap kecil
Berapa banyak pandangan mata itu
mencapai kehati pemiliknya
seperti busur dan tali busurnya
Selama seseorang hamba membolak-balikkan
pandangannya menatap manusia,
dia berdiri di atas bahaya
pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,
hunjaman yang memudharatkan.”
(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234).
3 Adakah Ibadah Dilaksankan dengan Berikhtilath?
-Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).
- Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-).
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim dan As-Sirājul Munīr fī Ahkāmis Shalati wal Imāmi wal Ma’mumīn, hal. 231-232).
Al-Imam Ash-Shan’any -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Lihat Subulus-Salām)
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar: 3/189).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).
-Ummul Mukminin Àisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Bukhari)
Hadits ini serupa dengan hadits Ummu Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bila mereka salam dari shalat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta orang-orang yang shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).
Al-Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).
- Jabir bin ‘Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri pada Iedul Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.” (Lihat Fathul Bāry: 2/66).
Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim: 2/535).
- Ummul Mukminin Àisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk berjihad, maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabad: “Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah -radhiyallahu ‘anha-).
Ibnu Baththal -rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76).
4 Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.
Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik. Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam. Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
Wallahu A’lam.
Ikhtilath antara Lawan Jenis
Ikhtilath atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa hijab/tabir penghalang sudah pernah kita singgung. Namun karena banyaknya penyimpangan kaum muslimin dalam perkara ini dan adanya sisi-sisi permasalahan yang belum tersentuh maka tak ada salahnya kita bicarakan dan kita ingatkan kembali.
Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Dan juga dalam rangka menasihati diri pribadi dan orang lain, karena agama ini adalah nasihat, seperti kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh1 rahimahullahu menyatakan dalam Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44) bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.”
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anahu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan,
“Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma berkata,
“Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anaha istri Abu Humaid As-Sa'idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan,
“Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu'ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma'rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata,
“Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir.
Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar'i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan'ani rahimahullahu menyatakan,
“Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.
3. Zainab radhiyallahu ‘anaha istri Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anahu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula,
“Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.
4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?
5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.
6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:
اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”
Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)
Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.
7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anaha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”
Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anahu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ
“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya3.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.
Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Beliau adalah Abu Abdil Aziz Muhammad bin Ibrahim bin Abdil Lathif bin Abdurrahman bin Hasan bin Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Beliau lahir di Riyadh, 17 Muharram 1311 H. Tumbuh dalam bimbingan langsung dari sang ayah dan pamannya Abdullah bin Abdil Lathif, seorang yang sangat alim di zamannya. Hafal Al-Qur’an pada usia 11 tahun dan mengalami kebutaan pada usia 16 tahun, namun tidak mengurangi semangatnya untuk meraup ilmu dari ulama yang hidup di masa itu. Beliau adalah mufti kerajaan Saudi Arabia di zamannya. Dari pengajaran beliau, lahirlah para ulama besar seperti Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid, Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah Al-Qar'awi, dan selain mereka –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semuanya–. Beliau wafat di bulan Ramadhan tahun 1389 H dengan mewariskan banyak karya dalam bentuk fatwa, rasa’il dan masa’il yang telah dicetak berjilid-jilid tebalnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dan menempatkannya di surga-Nya nan luas.
2 Yakni zina itu tidak hanya apa yang diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
3 Faedah: Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata setelah membawakan hadits ini, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Ini juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita, karena berjabat tangan jelas tanpa ragu terjadi sentuhan. Kebanyakan kaum muslimin di masa ini telah ditimpa musibah, bahkan di antara mereka sebagiannya adalah ahlul ilmi. Seandainya ahlul ilmi ini mengingkari hal tersebut dengan hati mereka, niscaya sebagian perkaranya jadi mudah. Akan tetapi mereka menghalalkan berjabat tangan tersebut dengan beragam cara/jalan dan penakwilan. Sungguh telah sampai berita kepada kami ada tokoh besar di Al-Azhar terlihat berjabat tangan dengan wanita, maka hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan keasingan ajaran Islam. Bahkan sebagian partai Islam berpendapat bolehnya berjabat tangan dengan wanita….” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
bersambung kebawah......
Sumber :
Abul Abbas Khidhr Al-Limbury
(Dinukil dari الإنتصار لحقوق المؤمنات (Persembahan Untukmu, Duhai Muslimah (Sebuah Pembelaan terhadap Hak-hak Wanita menurut Aturan Syari’at)); pasal Ikhtilath dan Bahayanya, karya Ummu Salamah As-Salafiyyah, hal. 253-261, penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein Al-Atsariyyah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar