بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pengertian Jilbab
Kata “jilbab” ditinjau dari sudut pandang bahasa mengandung beberapa makna:
1. Qamish yakni pakaian lebar dan panjang sejenis jubah.
2. Pakaian yang lebih luas dari khimar (kerudung penutup kepala) selain rida’ (selendang) yang berfungsi menutupi kepala dan dada wanita.
3. Pakaian lebar selain milhafah (selimut) yang dikenakan oleh seorang wanita.
4. Milhafah (selimut) (Lisaanul ‘Arab, Ibnu Mandzur 2/162)
Adapun dalam pengertian syari’ah sebagaimana yang telah diterangkan oleh para Ulama Ahli Tafsir diantaranya Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah bahwa jilbab adalah kain yang dikenakan diatas pakaian (milhafah, khimar, rida’ dan semisalnya) yang berfungsi menutupi wajah-wajah dan dada-dada mereka para wanita. (Taisirul Kariimir Rahman Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 59).
Demikian keterangan Para Ulama dalam mendefinisikan jilbab menurut pandangan syari’ah. Maka tidak tepat jika seorang muslimah mencukupkan diri dengan mengenakan khimar (kerudung mini penutup kepala atau jilbab gaul) sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan jilbab. Karena pengertian jilbab itu sendiri ialah kain yang ukurannya lebih panjang dari khimar yang dilabuhkan diatasnya.
Syarat-syarat Pakaian Muslimah:
1. Menutup seluruh tubuh
Syarat pertama yang wajib dipenuhi oleh seorang muslimah dalam berpakaian ialah menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Para Ulama Ahli Hadits telah bersepakat mengenai wajibnya menutup seluruh tubuh bagi Muslimah (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/29), namun yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini ialah persoalan hukum antara wajib dan afdhal-nya menutup wajah dan telapak tangan bagi mereka. Untuk masalah ini ada artikel menarik yang membahas secara spesifik beragam pendapat para Ulama yang mendasari fatwa mereka, silakan baca artikel yang berjudul “Aurat Muslimah” pada menu Nasehat Muslimah. Dalam uraian artikel tersebut penulis juga membimbing pembaca yakni bagaimana menempatkan dan mengamalkan pendapat para Ulama yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, wallahul muwaffiq.
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini yang tampaknya masih menjadi kesimpangsiuran pada pemahaman sebagian muslimah disekitar kita. Berangkat dari sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam: “Sesungguhnya Allah maha indah dan menyukai keindahan” mereka memfungsikan pakaiannya -yang menurut keumuman orang- sebagai perhiasan. Dengan mengenakan pakaian bercorak stylish dan bernuansa dekoratif serta perpaduan berbagai bahan membuat mereka tampil lebih modis dan menawan dihadapan laki-laki asing yang bertengger di jalan-jalan. Sementara keindahan yang ada dalam benak kita belum tentu serupa dengan keindahan yang ada disisi Allah Ta’ala. Karena keindahan menurut Allah adalah menjalankan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dalam tuntunan syari’at-Nya serta mejauhi segala larangan-Nya walaupun keumuman manusia memandangnya berbeda, diantara tuntunan syari’ah Allah adalah sebagai berikut:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya”. (An-Nuur: 31)
Maka berdasarkan keumuman lafadzh ayat diatas meliputi pakaian dzhahir (fisik) jika pakaian tersebut berfungsi sebagai perhiasan yang menarik perhatian laki-laki untuk melihatnya. (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/33).
Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya” yakni seperti pakaian yang indah (yang berfungsi sebagai perhiasan), dan juga perhiasannya, serta seluruh tubuhnya termasuk dari perhiasan, juga pakaian dzhahir jika memang berfungsi sebagai perhiasan. “Kecuali yang (biasa) tampak darinya” yakni pakaian dzhahir yang biasa dikenakan selama tidak menimbulkan fitnah. (Taisirul Kariimir Rahman Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat An-Nuur ayat 31).
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan peringatan kepada kita tentang golongan orang-orang yang binasa, diantaranya wanita yang suka berhias diri dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya:
“…..dan seorang istri yang jauh dari suaminya, padahal suaminya telah mencukupkan dia dengan memberikan fasilitas dunia, akan tetapi kemudian dia bertabarruj setelah itu…..”. (HR. Ahmad 23827 6/19 Sanad-nya Shahiih)
Pengertian tabarruj yakni seorang wanita menampakkan perhiasannya dan bagian-bagian keindahan tubuhnya yang sesungguhnya wajib atas mereka untuk menutupinya karena hal tersebut dapat mengundang syahwat pria. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/33, Abu Malik Kamal menukil dari Fathul Bayaan 7/274)
Demikian larangan Allah dan Rasul-Nya terhadap wanita yang suka berhias diri bukan pada tempatnya. Jadi tidak tepat jika memfungsikan pakaian sebagai perhiasan, karena tujuan perintah jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi perhiasan sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Adapun anggapan sebagian Muslimah yang komitmen dalam menjalankan sunnah berkata: “Bahwa pakaian selain hitam termasuk perhiasan dan tidak ada contohnya!”, tandas mereka. Ucapan ini perlu ditinjau kembali dengan melakukan pembacaan ulang secara kritis terhadap segenap riwayat. Karena telah shahiih berita mengenai istri-istri Nabi dan para Shahabiyah bahwa mereka juga pernah mengenakan pakaian berwarna selain hitam, dan hal ini tidaklah diingkari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dan para Shahabatnya sebagaimana yang termaktub dalam Shahiih Al-Bukhari (5823, 5825), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (8/372) dan sejumlah kitab. Termasuk Fatwa Lajnah Da’immah (5089) yang dipimpin oleh Al-‘Allaamah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz Bin ‘Abdullah Bin Baaz Rahimahullah.
Namun pakaian berwarna hitam lebih utama untuk dikenakan atas wanita, karena yang demikian itu adalah pakaian yang sering dikenakan istri-istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam, sebagaimana dalam kisah Shafwaan Bin Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwaani yang sempat mendapati ‘Aisyah tertinggal dari rombongan dengan mengenakan pakaian berwarna hitam (HR. Bukhari 4141 dan Muslim 2770), dan riwayat yang memberitakan penampilan para Shahabiyah yang digambarkan diatas kepala mereka seperti burung gagak.
3. Kainnya Harus Tebal Yakni Tidak Tipis
Pakaian dengan bahan yang tipis lebih mudah menggambarkan lekuk-lekuk tubuh mereka, dan wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis diluar rumahnya tak ubah seperti orang yang telanjang didepan umum, disadari atau tidak. Pun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah mensinyalir wanita-wanita seperti ini akan muncul diantara umatnya:
“Dua kelompok yang termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya……. (dan yang kedua) “wanita kaasiyaat ‘aariyaat”. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian”. (HR. Muslim 2128)
Kaasiyaat ‘aariyaat adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis, dan tidak menutup auratnya. Yakni berpakaian dari namanya saja, namun pada hakikatnya telanjang. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/34).
4. Harus Longgar Yakni Tidak Ketat
Tidak jarang dari wanita-wanita Muslimah yang kehilangan identitas dirinya terpedaya mengikuti trend berpakaian ketat seperti yang sering kita saksikan sekarang. Padahal pakaian yang ketat akan menyulitkan gerak tubuh mereka, dan saking sempitnya memakainya pun membutuhkan waktu dan tenaga. Berbeda dengan pakaian yang longgar, tubuh akan lebih mudah untuk bergerak dan terasa nyaman untuk dikenakan. Disamping itu, mafsadah yang terbesar dari berpakaian ketat ialah menampakkan tubuh seorang wanita, dan tentunya mengundang syahwat pria-pria yang masih normal mentalnya.
Dari Usamah Bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam memakaikan-ku sebuah pakaian Qubthiyyah (Mesir) yang tebal -dulu pakaian tersebut merupakan hadiah Dihyah Al-Kalbiy kepada beliau- maka aku memakaikannya untuk istriku. Kemudian Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata kepadaku: “Mengapa tidak kamu pakai baju Qubthiyyah itu?”, aku berkata: “Yaa Rasulallah, aku memakaikannya untuk istriku”. Lantas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata: “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam dibalik baju Qubthiyyah itu, karena aku khawatir baju tersebut masih menggambarkan bentuk tubuhnya”. (HR. Ahmad 21683 5/205, Abu Dawud 4116 Sanad-nya Hasan).
Merujuk sikap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diatas, apabila seorang wanita tengah mengenakan pakaian yang cukup longgar namun dikhawatirkan masih menggambarkan bentuk tubuh mereka, maka pada kondisi seperti itu diperintahkan untuk memakai baju dalaman sebagai lapisan. Begitu juga ketika seorang wanita memakai rok namun bagian pinggulnya masih terbentuk, hendaknya dia memakai lapisan dalam dibalik rok tersebut disamping mengenakan jilbab yang panjangnya melebihi pinggul guna menghindari tampaknya bentuk tubuh mereka. Jadi merupakan suatu kesalahan jika hanya mencukupkan diri dengan memakai celana panjang sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan rok yang lebar hingga menutupi telapak kakinya (agar lebih terjaga kenakan kaos kaki). Karena semata-mata memakai celana panjang akan lebih mudah untuk mengikuti bentuk betis dan lutut mereka, wallahu a’lam.
5. Tidak Memakai Wewangian
Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang mengenakan minyak wangi, kemudian melewati kaum laki-laki agar mereka mencium baunya, maka dia adalah seorang pezina”. (At-Tirmidzi 2786 dan diriwayatkan oleh selain mereka dengan sanad yang Hasan)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga bersabda:
“Wanita manapun yang mengenakan wewangian, maka janganlah dia menghadiri shalat ‘Isya bersama kami”
Juga terdapat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan larangan ini. Karena keluarnya para wanita ke jalan-jalan dengan wewangian, dimana pada jalan-jalan tersebut terdapat laki-laki asing dan tempat berkumpulnya mereka seperti di masjid, maka yang demikian ini akan menjadi sebab terbukanya pintu fitnah bagi mereka. Hal ini terjadi karena memang rangsangan laki-laki normal secara psikologis lebih kuat daripada rangsangan wanita pada umumnya, sehingga Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam melarang para wanita memakai minyak wangi ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dan bukan berarti membiarkan mereka tampil kumuh dan bau tak sedap, akan tetapi mereka diperintahkan untuk menjaga kebersihan badan dan pakaian, karena kebersihan itu separuh dari keimanan seseorang sebagaimana yang telah dinyatakan Nabi. Adapun menggunakan produk-produk deterjen yang memang mengandung sedikit wewangian (tidak tercium wanginya dari jarak dekat), dan tidak bisa dihindari, insya Allah tidak mengapa,
Parfum dan wanita merupakan bagian yang tak terpisahkan.Saking pentingnya banyak kaum hawa yang tak percaya diri bila tidak memakai benda ini. Sekejap saja kita keluar rumah dijalan, di pasar, di tempat keramaian maka akan dengan mudah hidung kita mencium bau yang semerbak dari wewangian parfum.Berbagai macam merek parfum dijual dari harga di bawah sepuluh ribu rupiah sampai ratusan ribu bahkan ada yang mencapai jutaan.Yang menjadi masalah bukannya merek atau harganya . Sebenarnya boleh nggak sih seorang wanita muslimah keluar dengan memakai parfum?walaupun hanya setetes saja?
Wajib bagi setiap muslimah mengetahui tentang masalah ini agar nantinya bermanfaat bagi diri kita, apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan garis syariat agama kita , sayang kan kalau ternyata hal ini kita anggap enteng (disepelekan)ternyata merupakan suatu kesalahan besar setelah di tinjau dari kacamata islam sehingga anggapan semacam ….ah itukan hanya setetes saja apa salahnya??, atau hanya parfum ini …tidak akan kita dengar lagi ……lalu bagaimana sebenarnya islam memandang masalah wanita yang keluar rumah dengan memakai parfum ??? Ada baiknya kita simak penjelasan berikut ini.
Nabi Shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Siapa saja perempuan yang memakai harum-haruman (parfum) maka janganlah ia menghadiri shalat isya (dimasjid) bersama kami” {Shahih riwayat Imam Ahmad,Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari jalan Abu Hurairah, juga lihat kitab Ash-shahihah hadits no.1094)
Dari Abu hurairah : “Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian (parfum) menerpanya.Maka Abu Hurairah berkata:”Wahai hamba Allah! apakah kamu hendak kemasjid?”ia menjawab:”Ya!” Abu Hurairah kemudian berkata lagi:”Pulanglah saja, lalu mandilah! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi (baru kemudian shalat kemasjid” {Hadits shahih, dikeluarkan oleh Al-baihaqi (III/133 dan 246) lihat silsilah Hadits Shahihah Syaikh Albani 3/1031)
Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Siapa saja perempuan yang memakai minyak wangi kemudian keluar ke masjid niscaya tidak diterima shalatnya sehingga ia mandi dahulu (membersihkan dirinya dari wangi-wangian tersebut) ” {Shahih riwayatb Ibnu Majah dari jalan Abu Hurairah}
Hadits pertama menjelaskan haramnya seorang wanita keluar ke masjid untuk menghadiri shalat isya dengan memakai wewangian.Disebutnya shalat isya disini tidak berarti menghadiri shalat-shalat lainnya diperbolehkan.Tentu saja tidak!!karena pada hadits kedua dan ketiganya menunjukkan keumuman seluruh macam shalat baik shalat fardhu maupun sunnah (seperti shalat tarawih dan shalat hari raya). Disebut shalat isya pada hadits no. 1 karena fitnahnya lebih besar.Kita lihat penjelasan Ibnul Malik mengenai hal ini :”shalat isya itu dikerjakan pada waktu malam hari, dimana kondisi jalanan pada waktu itu sepi dan gelap, sedangkan bau harum itu dapat membangkitkan birahi laki-laki, sehingga kaum wanita tidak bisa aman dari fitnah pada saat-saat seperti itu.Berbeda dengan waktu lainnya seperti Shubuh dan Magrib yang agak terang. Sudah jelas bahwa memakai wewangian itu menghalangi seorang wanita untuk mendatangi masjid secara mutlak”(Jilbab Wanita Muslimah:143-144)’
Apakah benar hanya ke masjid saja yang dilarang??? kalau begitu keluar rumah asalkan kita nggak ke masjid sah-sah saja kita memakai minyak wangi.Pembahasan ini belum lah selesai. Penulis menemukan satu hadits lagi yang patut kita camkan baik-baik karena apabila kita meremehkan bahaya sekali akibatnya .Ingin tahu lebih detail lagi???
Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu Musa Al-Asyari Radhiyallahu anhu dia menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam telah bersabda:
“Siapa saja perempuan yang memakai minyak wangi, kemudian ia keluar lalu ia melewati suatu kaum (orang banyak) supaya mereka mendapati (mencium )baunya , maka dia itu adalah perempuan zina /tuna susila”(Hadits ini hasan shahih diriwayatkan Imam Ahmad(4/414),Abu Dawud(4173),Tirmidzi(2786),An-Nasa’i(8/153)).
Jadi bagi siapa saja wanita muslimah yang memakai parfum ketika keluar rumah akan terkena ancaman ini. Alasan pelarangannya sudah jelas yaitu bahwa hal itu dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki.Al-Alamah Al-Mubarakafuri Rahimahullah menjelaskan hadits diatas dengan mengatakan:
“Yang demikian itu disebut berzina karena wangi-wangian yang dikenakan wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki dan menarik perhatian mereka. Laki-laki yang melihatnya berarti telah berzina dengan mata dan dengan demikian wanita itu telah melakukan perbuatan dosa “(30 larangan Wanita 30-31).
begitu pula dengan Syaikh Albani beliaupun menyampaikan penjelasan hadits diatas (hadits 1,2,3 dan yang terakhir ) dengan berkata:
“Jika hal itu (memakai wewangian ) saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya??tidak diragukan lagi bahwa hal ini jauh lebih haram dan lebih besar dosanya.AlHaitsami dalam kitabnya Az-Zawajir (2/37) menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai harum-haruman dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar, meskipun suaminya mengijinkannya.(Jilbab Wanita muslimah 143).
Mungkin akan timbul pertanyaan dalam benak kita, kalau memakai parfum haram hukumnya (ketika keluar rumah) lalu bagaimana mengatasi bau badan kita???tentunya kita akan malu dan tidak percaya diri berdekatan dengan teman-teman di kampus, sekolah, rumah sakit dan sebagainya.Bagaimana ini???ukhti-ukhti jangan khawatir sekarang ini banyak produk yang dijual dipasaran untuk mengatasi masalah tersebut.Dari yang berbentuk bubuk sampai cairpun dijual bebas.Pilihlah yang tidak memakai wewangian (fragarance free),apalagi kalau ukhti rajin minum jamu maka tidaklah sulit untuk mengatasi masalah “bau badan ini” dengan rajin mandi, minum jamu dan memakai produk khusus untuk mengatasi “bau badan” maka insya Allah kita akan terhindar dari bau yang tidak menyenangkan itu.Sehingga kita tidak akan bergantung lagi dengan parfum , bila ukhti dirumah maka islam tidak melarang seorang wanita muslimah memakainya, kita bebas memakainya asalkan kita yakin parfum itu tidak akan tercium oleh laki-laki yang bukan mahram kita.jadi kita nggak mau kan terjerumus dalam kesalahan fatal (dosa) hanya gara-gara dari setetes parfum yang kita pakai ketika keluar rumah.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita , sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.amin.
Daftar Pustaka:
Jilbab Wanita Muslimah,Syaikh Albani,Pustaka Tibyan, 2000M
30 Larangan Wanita,Amr bin Abdul Mun’im,Pustaka Azzam,2000M
Al-Masail, jilid 2, Abdul Hakim bin Amir Abdat,Darul Qalam,2003M
wallahu a’lam.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Penyerupaan wanita kepada laki-laki atau sebaliknya dalam berpakaian mengakibatkan penyerupaan mereka dalam hal akhlaq dan tidak pada fitrahnya. Bahkan hal ini telah menjadi pemandangan yang biasa ditengah masyarakat kita, padahal Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah melaknat perbuatan nista tersebut sebagaimana yang disaksikan para Shahabatnya:
Dari Abdullah Bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah melaknat (yakni dijauhkan dari rahmat dan ampunan Allah) laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki”. (Al-Bukhari 5885, At-Tirmidzi 2784, Abu Dawud 4097, Ibnu Majah 1904).
Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita dalam berpakaian dan mengenakan perhiasan yang mana hal tersebut memang dikhususkan untuk wanita, demikian juga sebaliknya. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasululullah melaknat laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki”. (Abu Dawud 4098, Ahmad 8292 2/325 sanad-nya Shahiih).
Batasan pelarangan tasyabbuh (penyerupaan) tidaklah semata-mata berdasarkan pakaian yang dipilih, disukai, atau yang telah menjadi kebiasaan diantara pria dan wanita. Akan tetapi kembali kepada apa yang pantas bagi mereka, yaitu yang pantas bagi wanita adalah dengan mengenakan pakaian tertutup dan tidak bertabarruj dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Maka dalam pembahasan ini ada dua hal yang dimaksud, pertama adanya perbedaan antara pakaian pria dan wanita, dan yang kedua tertutupnya kaum wanita, dan tidaklah terjadi penyerupaan wanita kepada pria kecuali jika kedua hal tersebut dilakukan secara bersamaan”. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-wanita Kafir
Telah menjadi ketetapan syari’ah bahwasanya tidak boleh bagi setiap muslim -pria maupun wanita- menyerupai orang-orang kafir, sama saja apakah dalam hal peribadatan mereka, hari raya mereka, atau pakaian-pakaian khusus mereka. Allah Ta’ala blerfirman:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka degan mengingat Allah dan dengan kebenaran yang telah diturunkan (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti keadaan umat yang diturunkan kitab sebelumnya, dimana mereka berkepanjangan dalam keadaan kososng dari berdzikir kepada Allah serta kosong dari ilmu, sehingga menjadi keraslah hati mereka dan akibatnya kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang fasiq”. (Al-Hadiid: 16)
Para Ulama Ahli Tafsir menerangkan firman Allah: “Dan janganlah mereka seperti keadaan umat yang diturunkan kitab sebelumnya”, yakni janganlah mereka (orang-orang yang beriman) meniru perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashara yang telah diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Al-Qur’an.
Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga telah menegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum itu”.
Maka cukup memprihatinkan tatkala melihat perangai sebagian kaum Muslimin saat ini tengah mengalami krisis ketauladanan. Mereka yang seharusnya menjadi pelopor dalam kebaikan justru terkondisikan menjadi pengekor kebebasan sebagai akibat penetrasi budaya-budaya kuffar dalam berpakaian, dan hal ini merupakan bentuk genderang perang orang-orang kafir dalam upaya mereka memerangi Islam dan kaum Muslimin. Seharusnya yang dilakukan seorang Muslim adalah membangun kepribadian diri dengan nilai-nilai Islam dan menumbuhkan semangat optimisme dalam menjalani kehidupan. Karena dengan sebab itulah rasa minder yang menghantui perasaan dapat dengan segera hilang, dan tidak akan mudah ikut-ikutan dalam melangkah seperti keadaan kerbau yang ditarik hidungnya ketika berjalan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan contoh nyata dalam mengambil sikap, yaitu ketika beliau melihat Shahabatnya mengenakan pakaian yang menjadi ciri khas orang-orang kafir, maka pada detik itu juga beliau langsung menegurnya dalam rangka menjaga kepribadian diri Shahabatnya itu: “Sesungguhnya ini pakaian kuffar, maka janganlah sekali-kali engkau memakainya.” (HR. Muslim 2077, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 25223).
Dan masih banyak lagi nash-nash syar’iyyah yang menegaskan kepada kita bahwa menyerupai orang-orang kafir dalam segala tindak tanduk mereka serta merupakan kekhususan bagi mereka adalah termasuk hal yang tercela. Bahkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam tengah memberikan ultimatum jika ada diantara umatnya yang bertasyabbuh dengan orang-orang kafir tersebut, maka dia termasuk dari golongan mereka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari segala bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir, dan senantiasa membimbing langkah kita guna memiliki kepribadian yang bernafaskan Islam, amiin yaa mujibas sa’iliin.
8. Bukan Sebagai Pakaian Syuhrah
Hal ini sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dari Abdullah Bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu:
“Barangsiapa yang mengenakan pakaian Syuhrah (untuk mencari popularitas) didunia, maka Allah akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari Kiamat, dan kemudian menyala-nyala pada pakaian tersebut api neraka” (HR. Abu Dawud 4029, dan Ibnu Majah 3607 dengan Sanad Hasan Lighairih)
Pakaian Syuhrah adalah semua pakaian yang dikenakan dengan niat untuk mencari popularitas ditengah manusia. Sama saja apakah dalam bentuk pakaian yang bagus, yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian yang bernilai rendah, yang dikenakan dalam rangka menampakkan kezuhudan dan riya’. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/37).
Dalam hal menutup aurat bagi seorang wanita muslimah,terhadap laki-laki asing hukumnya adalah wajib berdasarkan Al-qur’an ,As-sunnah dan ijma’ para Ulama. Hanya yang terjadi khilaf diantara mereka dalam hal wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan,setelah mereka sepakat bahwa yang demikian adalah perkara yang disyari’atkan.
Dan yang lebih mendekati kebenaran –wallahu a’lam- bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan pun hal yang diwajibkan.
Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah :
1) firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka telah ditafsirkan oleh para Ulama,bahwa termasuk yang diulurkan adalah ke wajah-wajah mereka.Diantara para Ulama yang menafsirkan demikian adalah Abidah As-Salmani,dan yang lainnya dari kalangan mufassirin.Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas .
2) Dan Firman-Nya:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang- orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Telah ditafsirkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa yang dimaksud “kecuali yang tampak darinya” adalah pakaian luar.
Adapun dari hadits ,diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:
“Semoga Allah merahmati wanita yang awal kali berhijrah,tatkala Allah menurunkan firman-Nya:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka mengulurkan khimar mereka ke dada-dada mereka”
(QS.An-Nuur:31)
Maka mereka pun merobek kain-kainnya lalu berkhimar dengannya.”
(HR.Bukhari)
Berkata Al-Hafidz: mereka berkhimar ,maknanya adalah mereka menutupi wajah-wajah mereka.
(Fathul bari:8/490).
Dan disana masih banyak dalil berkenaan tentang hal ini.Dan tentunya menutup seluruh tubuh termasuk wajah dan kedua telapak tangan lebih aman dari fitnah,lebih menenangkan hati dalam beramal,sebab dengan mengamalkannya berarti kita keluar dari perselisihan yang terjadi dikalangan para Ulama salaf. Adapun hadits-hadits yang membolehkan membuka wajah ada yang shohih, namun tidak shorih (tidak jelas menunjukkan maksud yang dikehendaki),ada pula yang shorih ,akan tetapi kedudukan riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Dalam sejarah penetapan hukum syari’ah (tarikh tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan wanita-wanita Arab jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang bulat ketika thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan meninggalkannya tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang hingga pakaian tersebut usang. Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan Al-Liqa’ ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.” (Syarh Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
MENGUSAP JILBAB KETIKA BERWUDHU, BOLEHKAH?
Seringkali seorang muslimah berjilbab merasa kesulitan jika harus berwudhu di tempat umum yang terbuka. Inginnya berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu secara langsung. Akan tetapi jika hal itu dilakukan maka dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang lain yang bukan mahram. Karena anggota wudhu seorang wanita muslimah sebagian besarnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat yang rojih (terkuat). Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada pada kondisi yang demikian?
Saudariku, tidak perlu bingung dan mempersulit diri sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi hamba-Nya dalam syari’at Islam ini. Allah Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al Baqarah: 185).
Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai hukum wudhunya seorang muslimah dengan tetap mengenakan kerudungnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan.
Seorang wanita boleh berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya
Terkait wudhunya seorang muslimah dengan tetap memakai kerudung penutup kepala, maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap kerudungnya sebagai ganti dari mengusap kepala. Lalu apa dalil yang membolehkan hal tersebut? Dalilnya adalah bahwasanya Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dulu pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan beliau mengusap kerudungnya. Ummu Salamah adalah istri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apakah Ummu Salamah akan melakukannya (mengusap kerudung) tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?[1] Apabila mengusap kerudung ketika berwudhu tidak diperbolehkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Ummu Salamah melakukannya.
Ibnu Mundzir rahimahullah dalam Al Mughni (1/132) mengatakan, “Adapun kain penutup kepala wanita (kerudung) maka boleh mengusapnya karena Ummu Salamah sering mengusap kerudungnya.”
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berwudhu dengan mengusap surban penutup kepala yang beliau kenakan. Maka hal ini dapat diqiyaskan dengan mengusap kerudung bagi wanita. Dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari bapaknya, beliau berkata,
رأيت النبي صلّى الله عليه وسلّم، يمسح على عمامته وخفَّيه
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.”[2]
Juga dari Bilal radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، مسح على الخفين والخمار
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan khimarnya.”[3]
Dalam kondisi apakah seorang wanita diperbolehkan untuk mengusap kerudungnya ketika berwudhu?
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “(Pendapat) yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad, bahwasanya seorang wanita mengusap kerudungnya jika menutupi hingga di bawah lehernya, karena mengusap semacam ini terdapat contoh dari sebagian istri-istri para sahabat radhiyallahu ‘anhunna. Bagaimana pun, jika hal tersebut (membuka kerudung) menyulitkan, baik karena udara yang amat dingin atau sulit untuk melepas kerudung dan memakainya lagi, maka bertoleransi dalam hal seperti ini tidaklah mengapa. Jika tidak, maka yang lebih utama adalah mengusap kepala secara langsung.”[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Adapun jika tidak ada kebutuhan akan hal tersebut (berwudhu dengan tetap memakai kerudung -pen) maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama (yaitu boleh berwudhu dengan tetap memakai kerudung ataukah harus melepas kerudung -pen).”[5]
Dengan demikian, jika membuka kerudung itu menyulitkan misalnya karena udara yang amat dingin, kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka kerudung karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain, atau udzur yang lain, maka tidaklah mengapa untuk tidak membuka kerudung ketika berwudhu. Namun, jika memungkinkan untuk membuka kerudung, maka yang lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.
Tata cara mengusap kerudung
Adapun mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala pada saat wudhu, menurut pendapat yang kuat ada dua cara[6], diqiyaskan dengan tata cara mengusap surban, yaitu:
Pertama: Cukup mengusap kerudung yang sedang dipakai
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya,
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.”
Surban boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya.[7] Karena kerudung bagi seorang wanita bisa diqiyaskan dengan surban bagi pria, maka cara mengusapnya pun sama, yaitu boleh mengusap seluruh bagian kerudung yang menutupi kepala atau boleh sebagiannya saja. Akan tetapi, jika dirasa sulit untuk mengusap seluruh kerudung, maka diperbolehkan mengusap sebagian kerudung saja yaitu bagian atasnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Kedua: Mengusap bagian depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap kerudung
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، توضأ، ومسح بناصيته وعلى العمامة وعلى خفيه
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu mengusap ubun-ubunnya, surbannya, dan juga khufnya.”[8]
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
رأيتُ رسولَ اللّه صلى الله عليه وسلم يتوضأ وعليه عمَامة قطْرِيَّةٌ، فَأدْخَلَ يَدَه مِنْ تحت العمَامَة، فمسح مُقدَّمَ رأسه، ولم يَنْقُضِ العِمًامَة
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, sedang beliau memakai surban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah surban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas surban itu.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika seorang wanita takut akan dingin dan yang semisalnya maka dia boleh mengusap kerudungnya. Karena sesungguhnya Ummu Salamah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya mengusap kerudung disertai dengan mengusap sebagian rambutnya.”[9]
Maka diperbolehkan bagi seorang muslimah untuk mengusap kerudungnya saja atau mengusap kerudung beserta sebagian rambutnya. Namun, untuk berhati-hati hendaknya mengusap sebagian kecil dari rambut bagian depannya beserta kerudung, karena jumhur ulama tidak membolehkan hanya mengusap kerudung saja, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari.[10]
Syarat-syarat mengusap kerudung
Para ulama berselisih pendapat tentang syarat-syarat mengusap penutup kepala (dalam konteks bahasan ini adalah kerudung). Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap penutup kepala sama dengan syarat-syarat mengusap khuf (sepatu). Perlu diketahui bahwa di antara syarat-syarat mengusap khuf adalah khuf dipakai dalam keadaan suci dan batas waktu mengusap khuf adalah sehari semalam untuk orang yang mukim dan tiga hari tiga malam untuk musafir.
Sebagian lagi berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap kerudung tidak dapat diqiyaskan dengan persyaratan mengusap khuf. Mengapa demikian? Meskipun sama-sama mengusap, tetapi mengusap kerudung merupakan pengganti dari mengusap kepala yang mana kepala merupakan anggota wudhu yang cukup dengan diusap, sedangkan mengusap khuf merupakan pengganti dari mengusap kaki yang mana kaki merupakan anggota wudhu yang dibasuh/dicuci.
Oleh karena itu tidaklah disyaratkan untuk memakai penutup kepala dalam keadaan suci dan tidak ada batasan waktu, dan inilah pendapat yang lebih kuat, in syaa Allah. Mereka berpendapat karena dalam hal ini tidak ada ketetapan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai batasan waktunya. Kapan pun seorang wanita muslimah memakai kerudung dan berkepentingan untuk mengusapnya ketika berwudhu maka ia boleh mengusapnya, dan bilamana ia bisa melepas kerudungnya ketika berwudhu maka ia mengusap kepalanya, dan tidak ada batas waktu untuk hal tersebut. Namun, untuk lebih berhati-hati hendaknya kita tidak memakai penutup kepala kecuali dalam keadaan suci.[11]Wallahu a’lamu.
_______________
Catatan Kaki
[1] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (21/186), Maktabah Syamilah
[2] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari (1/308 no. 205) dan lainnya.
[3] HR. Muslim (1/231) no. 275
[4]Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (11/120), Maktabah Syamilah
[5]Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (21/218)
[6]Thohurul Muslimi fii Dhouil Kitabi was SunnatiMafhuumun wa Fadhoilu wa Adabun wa Ahkamun hal. 35 & 52, Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Maktabah Syamilah
[7] Lihat Syarh Al-‘Umdah hal. 276 dan Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (11/119)
[8] HR. Muslim (1/230) no. 274
[9]Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah (21/218), Maktabah Syamilah
[10] Lihat Fiqhus Sunnah lin Nisaa, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim
[11]Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (11/119)
Sumber :
kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah hafizahullah
Abu Karimah Askary
Ummu Isma'il
Islam Kaffah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar