Rabu, 23 Maret 2011

MENJAWAB 9 TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANY

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah. Wa Ba’du.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai muhaddits As-Syam (ahli hadits negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia berhak menyandangnya, wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya, pernah dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.
Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:
1. (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2. Tidak mengetahui ilmu ushul
3. Tidak memiliki guru.
4. Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5. Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6. Bermadzhab dzhoiri
7. Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8. Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9. Tidak perhatian dengan matan hadits.
Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas ulama hadits di sepanjang masa.
Dan saya melihat hal ini perlu dipaparkan dan dijawab demi membela mereka seutuhnya. Dengan harapan agar amalan yang sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.
1. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).
Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan Syaikh Al-Albani dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya, pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya, maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan pernyataan berikut ini.
Kita katakan kepada mereka : Apa sebenarnya arti fikih menurut kalian? Jika maksud kalian adalah menghafal masalah-masalah, matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang bersifat tidak nyata, tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Imam Al-Albani sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.
Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.
Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan makna batil tersebut merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk merendahkan kadar dan kedudukan ahli hadits, dan bahwa seorang ahli fikih tidak memerlukan ilmu hadits.
Ungkapan tersebut awalnya ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya penghalalan (lepas diri) dan zindiq (kemunafikan). Dikatakan bid’ah, karena kita tidak pernah menemukannya dari salafush shalih. Dikatakan penghalalan dan zindiq, karena ucapan tersebut bisa mengakibatkan dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang kemudian bisa menggugurkan syari’at dan meghilangkan hukum-hukum Islam. Sehingga dikatakan sesekali : Hukum ini adalah perkataan fulan yang merupakan ahli hadits, dia bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain kali ; Hukum ini adalah ucapan fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli hadits. Dan hasil akhirnya adalah berlepas diri dari hukum agama!!!
2. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.
Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih beliau- ditelan mentah-mentah oleh sebagian mereka untuk mencela para ahli hadits, yang kemudian mereka gunakan untuk melemparkan tuduhan kepada para ahli hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan : Termasuk perkara yang penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.
a. Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya As-Sunnah riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan ditunjukkan maksudnya. Dan dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui maknanya
b. Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan bahasa Arab, dengan memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at. Dan perkara ini hanya diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal tersebut kecuali dengan jalan mereka (para sahabat).
Apabila telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli hadits merupakan orang yang paling bahagia dengan kedua poin tersebut. tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang kabar yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang sebenarnya ahli ilmu ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar untuk membangun ilmu ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas kecuali untuk hal ini?
Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah sebenarnya ulama ushul syariat ini, yang mengetahui kaedah-kaedah pengambilan hukum dari sela-sela usaha mereka untuk mengikuti apa yang datang dari sahabat dan tabi’in.
3. Tidak Memiliki Guru
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.
Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi Al-Falah, sebuah kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa kitab balaghah
Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad Bahjat Al-Baithar bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.
Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabbakh. Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.
Apabila engkau tahu semua ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta mereka “Al-Albani tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.
Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit gurunya. Betapa banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu tidak mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun ternyata para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya. Dan hal itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan meriwayatkan hadits dari mereka.
Adalah Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang terkenal dengan sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang merupakan penduduk daerah Isybilia. Dia adalah satu-satunya ulama dan ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan cabang ilmu hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa kitab-kitab sunnah dan penjelasan maknanya.
4. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat
Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama ahli hadits, begitu pula Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada- termasuk orang yang terasing yang menghidupkan sunnah-sunnah yang dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia tidak paham masalah dan tidak pula kita menayandarkan istilah ganjil kepadanya
Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya. Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu ganjil (menyimpang) dan perpecahan.
Maka bukanlah maksud dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan mereka apalagi menghalang-halanginya, juga tidak menjadikan mereka disifati ganjil atau menyendiri.
Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak dikatakan oleh ulama yang lain dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka menyendiri. Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan yang Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar Al-Laits : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).
Kemudian kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara mutlak dalam syari’at ini, yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ? Dosa apa yang dilakukan para ahli hadits dan Al-Albani tatkala mereka berpegang dengan hadits yang telah jelas bagi mereka derajat keshahihannya, dan tidak pernah nampak perkataan kuat yang menyelisihinya, kemudian mereka mengamalkannya, dan mengajak orang lain untuk menghidupkan sunnah yang dikandung oleh hadits itu. Maha Suci Allah!, mereka bukannya diberikan ucapan terima kasih malah dicela, kemudian dijuluki dengan gelar ganjil atau menyendiri!
5. Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengetahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut :
Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan menjatuhkan perkataan ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu tidak mendahulukan perkataan seseorang dari ucapan beliau, siapapun orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits. Apabila hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya. Jika sudah jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang darinya, meskipun semua orang di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.
Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau berkata : Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).
Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang dipilih oleh Al-Albani kecuali pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang sejalan dengan dalil.
Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.
Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Tersisa isyarat tentang permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah orang yang menyelisihinya. Realita yang ada menyatakan bahwa permasalahan ini bersifat relatif, setiap orang berbeda satu sama lain. Sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah sifat obyektif dalam membahas, sekedar mencari kebenaran tanpa basa-basi. Sedangkan yang lainnya menyebutnya dengan istilah keras dan tidak berlemah lembut. Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya tidak dihindari poin-poin berikut ini.
a). Bahwasanya sebagian dari mereka meminta kepada Syaikh untuk lemah- lembut dalam membantahnya hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka meminta kepada Syaikh untuk membantahnya dengan aturan tertentu yang mereka sendiri tidak dipergunakan ketika membantah orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan berarti kebatilan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima kebenaran tersebut.
c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.
d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.
Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki komentar tentang itu di As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman 27.
6. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.
Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.
- Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?
- Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?
Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya mencela keras Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : Untuk menyelisihi pendapat yang dipegang oleh Ibnu Hazm.
Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri.
Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan mengambil manfaat dari fikih mereka.
7. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.
Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya:
a.  Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.
b. Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c.  Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya), hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.
Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil yang shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil.
Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.
Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Al-Albani dan memberinya rekomendasi tersebut.
8. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.
Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan kesalahan dan memiliki pendapat yang kontradiksi seorang alim dinyatakan gugur dan terlepas darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada seorang ulama yang adil yang berpendapat demikian.
Baiklah, barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana kesalahannya lebih dominan dari pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah hujjah darinya, dan hilanglah sifat kuat hafalannya. Apabila terwujudkan hal ini, maka ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan kepada Al-Albani dengan hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi ketsiqohan beliau dan ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil –segala puji hanya untuk Allah-. Karena prosentasi hadits-hadits yang disebutkan dan telah dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang kontradiksi dibanding hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan tidak diperhitungkan, serta tidak mampu mengotori bahtera ilmunya. Karena air apabila sudah mencapai dua kullah tidak akan membawa sifat kotor. Dan penyandaran kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang mayoritasnya merupakan penipuan kotor belaka.
Apabila diteliti penyandaran tersebut, tidak akan selamat kecuali sangat sedikit sekali, dan semua itu tidak keluar dari keadaan-keadaan beikut ini.
a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang benar.
b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau menemukan jalan yang lainnya.
c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat yang rajih (kuat) sesuai keadaan perawi tersebut, kemudian beliau mengoreksi kembali ijtihadnya dan menemukan hukum yang berbeda.
d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.
e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat), kemudian beliau mengetahuinya
Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar Al-Kasyifah Li Tanaqudhat Al-Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan, penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di dalamnya.
9. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits
Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya.
Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.
“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh”.
Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata: Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh syari’at ini, dst…
Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya sempurnalah segala kebaikan. Sebagai pelengkap, berikut ini kami sertakan pula beberapa pujian para ulama kepada beliau rahimahullah.
Pujian Ulama Kepada Syaikh al Albani rahimahullah:
1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak pernah mengetahui seorang pun di atas bumi ini yang lebih alim dalam bidang hadits pada masa kini yang mengungguli Syaikh al Albani rahimahullah.” [Majalah ash Shalah, Yordania th. 4 Edisi 23/Sya’ban/th. 1420 H., hal. 76]
2. Syaikh bin Baz rahimahullah juga mengatakan, “Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani adalah mujaddid zaman ini dalam dugaanku, wallahu a’lam.”
3. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata mensifati Syaikh al Albani, “Ahli hadits negeri Syam, pemilik ilmu yang sangat luas tentang hadits secara riwayah dan dirayah. Allah Ta’ala menganugerahkan manfaat yang banyak kepada manusia melalui karya-karya ilmiahnya berupa ilmu dan semangat mempelajari ilmu hadits.” [Hayatul Albani II/543 oleh Muhammad bin Ibrahim ays Syaibani]
4. Syaikh al Utsaimin juga berkata, “Imam ahli hadits. Saya belum mendapati seorang pun yang menandinginya di zaman ini.” [Kaset Majalis Huda wa Nur Aljazair no. 4 tanggal 9/Rabi’ul Awal 1420 H]
5. Pujian Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rohimahullohu, “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari pertemuan saya dengan beliau –dan itu sangat sedikit- bahwa beliau sangat teguh di dalam mengamalkan As Sunnah dan memerangi bid’ah, baik dalam aqidah maupun amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwayat maupun dirayat. Dan bahwasannya Alloh memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau, baik dari segi ilmu maupun metodologi….” [Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1]
6. Syaikh al ‘Allaamah ‘Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad, pengajar di Masjid Nabawi saat ini berkata, “Syaikh al ‘Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albani. Saya tidak menjumpai orang pada abad ini yang menandingi kedalaman penelitian haditsnya.” [Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hal. 35-36]
7. Syaikh Humud bin Abdullah at Tuwaijiri mengatakan, “Sekarang ini al Albani menjadi tanda atas sunnah. Mencela beliau berarti mencela sunnah.” [Maqalatul Albani hal. 224 oleh Nurudin Thalib]
8. Syaikh Dr. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, anggota komisi fatwa Saudi Arabia mengatakan dalam membantah ucapan Muhammad Ali ash Shabuni, “Ini merupakan kejahilan yang sangat dan pelecehan yang keterlaluan, karena kehebatan ilmu al Albani dan perjuangannya membela sunnah dan ‘aqidah salaf sangat populer dalam hati para ahli ilmu. Tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali musuh yang jahil.” [at Tahdzir min Mukhtasharat as Shabuni fi Tafsir hal. 41]
9. Syaikh al Muhaddits Abdush Shamad Syarafuddin, pengedit Kitab Sunan Kubra karya Imam an Nasai telah menulis surat kepada al Albani rahimahullah sebagai berikut, “Telah sampai sepucuk surat kepada Syaikh ‘Ubaidullah ar Rahmani, ketua Jami’ah as Salafiyah dan penulis Mir’aah al Mafaatih Syarah Misykah al Mashahib sebuah pertanyaan dari lembaga fatwa Riyadh Saudi Arabia tentang hadits yang sangat aneh lafaznya, agung maknanya dan memiliki korelasi erat dengan zaman kita. Maka, seluruh ulama di sini semua bersepakat untuk mengajukan pertanyaan tersebut kepada seorang ahli hadits yang paling besar abad ini, yaitu Syaikh al Albani rahimahullah, ‘alim Rabbani.” [Hayatul Albani I/67, Majalah at Tauhid, Mesir th. 28 Edisi 8/Sya’ban/th. 1420 H, hal. 45]
10. Ucapan pendekar hadits asal India kelahiran Uttar Pradesh Dr. Muhammad al Mushthafa al A’zhami, “Bila Syaikh (al Albani) berbeda hukum denganku dalam masalah shahih dan dha’ifnya hadits, maka saya menetapkan pendapatnya, karena saya percaya kepadanya, baik dari segi ilmu dan agama.” [Dr. Musthafa al A’zhami dalam Muqadimah Shahiih Ibni Khuzaimah I/6, 32]
11. Sikap hormat Asy Syaikh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi rohimahullohu (ahli tafsir yang tidak ada bandingannya di zamannya) yang tak lazim kepada Syaikh Al Albani, dimana saat beliau melihat Al Albani berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawi, beliau menyempatkan diri berdiri untuk mengucapkan salam kepada Al Albani demi menghormatinya. [Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1]
12. Pujian al-Allamah Muhibbuddin al-Khathib rohimahullohu, “Di antara para da’i kepada as-Sunnah, yang menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya adalah saudara kami Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albani. [Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1]
13. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rohimahullohu pernah menyebut Al Albani dengan pujian, “Beliau adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut kebatilan.” [Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1]
14. Al-’Allamah Muhammad Hamid al-Faqi rahimahullah menuturkan: “Asy-Syaikh Nashiruddin rahimahullah, saudara (kami) yang bermanhaj Salaf, seorang pembahas dan peneliti yang cermat.” [Majalah al-Ashaalah no. 23 hal. 76]
15. Al-’Allamah Hamud Tuwaijiri rahimahullah berkata: “Al-Albani di zaman ini adalah seorang Imam pembawa bendera Sunnah.” [Tarjamah Muhaditsul 'Ashri oleh al-Qaryuti hal. 19]
16. Syaikh Muhammad bin Shaleh ‘Utsaimin rahimahullah bertutur tentang al-Albani: “Beliau adalah seorang yang sangat giat melaksanakan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan memerangi bid’ah baik dalam aqidah maupun amal ibadah. Aku mengetahui itu dari karya-karya tulisnya. Ia memiliki banyak ilmu dalam hadits baik periwayatan maupun mushthalah hadits (dirayah). Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi manfaat kepada banyak orang dari hasil karyanya, baik berupa ilmu, manhaj serta pengarahan kepada ilmu hadits, ini merupakan keuntungan yang besar bagi kaum muslimin. Walhamdulillah.”
Pada kesempatan lain beliau menggambarkan tentang al-Albani sebagai: “Seorang yang berpotensi, berpengetahuan luas serta sangat memuaskan (dalam menyampaikan hujjah, -pent).” Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah melihat sebuah kaset yang termaktub di atasnya: Ahli hadits negeri Syam, Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah maka secara spontan beliau menukas: “Bahkan ahli hadits abad ini.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 19]
17. Al-’Allamah ‘Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad hafizhahullah seorang ahli hadits, mantan rektor Universitas Islam Madinah, seorang guru besar di masjid Nabawi berkata: “Al-Albani seorang ‘alim besar yang telah berkhidmah kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aqidahnya baik, tidak boleh menikamnya dengan tuduhan-tuduhan bathil.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 20]
18. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata: “Yang aku yakini dan dengannya aku beragama kepada Allah bahwa Syaikh al-Albani rahimahullah termasuk para mujaddid (reformis dalam agama ini) yang sangat tepat baginya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya Allah mengutus kepada ummat ini pada setiap seratus tahun, seorang mujaddid yang memperbaharui urusan agama mereka.” [1] Al-Albani berkata: “Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah telah mengisyaratkan keshahihan hadits ini sebagaimana yang dinukil oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya “Siyar a’lam an Nubala”, jilid 10 hal. 46.
Imam Ahmad berkata: “Sesungguhnya Allah menentukan bagi ummat pada setiap seratus tahun, seorang yang mengajari mereka Sunnah-sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, meniadakan (membersihkan) kedustaan dari apa yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kami melihat bahwa pada seratus tahun pertama adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua adalah Asy-Syafi’i.” [2]
19. Al-’Allamah Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata bahwasanya al-Albani adalah pembela Sunnah di abad ini. [Adz-Dzabbu al Ahmad, hal. 19]
20. Syaikh Shaleh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullah (Menteri Urusan Agama Kerajaan Saudi Arabia) menuturkan: “Beliau mempunyai jasa yang besar dalam membela aqidah salaf dan manhaj ahli hadits, memiliki karya tulis dalam jumlah besar yang berhubungan dengan khidmahnya terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana ia telah memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if. Pengaruhnya di dunia Islam amat besar, beliau salah seorang ulama ummat ini yang memiliki jasa yang mulia dan besar.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 22]
21. Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi hafizhahullah berkata: “Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang ahli hadits besar, seorang ‘alim yang terkenal, penulis karya-karya yang bermanfaat dan peneliti hadits, bermukim di negeri Syiria (Syam), seorang yang beraqidah salaf, telah berusaha keras untuk meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiada seorang pun menandinginya, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikannya.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 21]
22. Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhali hafizhahullah menuturkan tentang Al-Albani: “Syaikh al-Albani salah seorang Imam pembawa bendera Sunnah di zaman ini, ia telah berkhidmah kepadanya dengan menshahihkan, mendha’ifkan dan meneliti para perawinya. Ia menentang bid’ah-bid’ah dalam banyak karyanya seperti dalam kitab: Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Shifat Haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Kitab Hukum-hukum Pelaksanaan Jenazah dan lainnya. Pada setiap kesempatan, beliau selalu menyinggung tentang bid’ah dan mengingatkan agar mewaspadainya, serta menjelaskan tentang sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berjalan di atas prinsip yang telah ditetapkannya yaitu tashfiyah (pemurnian Islam dari segala hal yang tidak islami) dan tarbiyah (pembinaan umat di atas Islam yang murni) dengan kata lain, pemurnian Sunnah dari aqidah yang bathil, bid’ah-bid’ah serta dari hadits-hadits yang lemah dan palsu, kemudian membina umat ini di atas aqidah yang murni dan hadits-hadits yang shahih.
Beliau adalah salah seorang Imam di abad ini. Karya-karyanya sangat bermanfaat bagi umat dan menjadi salah satu sumber ilmu yang paling utama dan mudah, yang menghubungkan pemahaman dengan para Salafush Shalih. Jerih payahnya yang telah disumbangkannya kepada Islam, sebagai bukti bahwa beliau adalah seorang imam.
Ia telah memberi andil dalam jumlah besar dalam bentuk khidmah terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jilidan-jilidan besar dalam jumlah yang banyak telah diwariskannya untuk umat ini, sesuatu yang sulit bagi seseorang di zaman ini untuk menyamainya, kecuali para Salafush Shalih.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 21-22]
23. Lajnah Tetap Urusan Fatwa dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia berkata: “Adapun kitab Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah (Kumpulan hadits-hadits dha’if dan palsu), penyusunnya (al-Albani, -pent) adalah seorang yang berpengetahuan luas dalam ilmu hadits, kritikannya terhadap hadits-hadits sangat kokoh, demikian pula dalam menghukumi keshahihan dan kelemahannya.” [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 19]
24. Al-’Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Adam seorang ulama ahli fiqih, ahli hadits dan ahli ushul dari Ethiopia berkomentar tentang Imam al-Albani rahimahullah karya-karya al-’Allamah al-Albani sangat menyenangkan karena beliau memiliki andil besar dalam pengenalan hadits-hadits shahih dan dha’if, karya-karya yang sangat bermutu itu menjadi saksi atas apa yang kami kemukakan. Pada zaman yang telah dikuasai oleh kejahilan seperti yang kita alami sekarang ini, sedikit sekali orang yang mampu menandinginya. [Adz-Dzabbul Ahmad hal. 22]
Jika hendak menulis seluruh pengakuan dan pujian para ulama, cerdik pandai dan tokoh masyarakat Islam internasional terhadap Imam al-Albani rahimahullah tentunya memerlukan lembaran-lembaran dalam jumlah besar. Namun kami merasa telah cukup dengan nukilan-nukilan di atas untuk mewakili yang lainnya.
Dari ungkapan para ulama dan persaksian mereka terhadap al-Albani kita ketahui prestasi yang disandangnya dan kami tidak mensucikan seseorang terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau adalah:
- Seorang yang beraqidah dan bermanhaj salaf.
- Pemegang teguh Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Pembawa bendera Sunnah di abad ini.
- Alim terbesar dalam ilmu hadits pada abad ini.
- Da’i yang sangat giat mengajak umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih.
- Pembela aqidah dan manhaj Salafush Shalih.
- Pembela aqidah salaf dan manhaj ahli hadits.
- Mujaddid dan muhaddits (pembaharu dan ahli hadits) abad ini.
- Berpengetahuan luas dan berjasa besar terhadap Islam dan kaum muslimin serta pengakuan-pengakuan lain terhadap keilmuannya.
Pujian dan persaksian para ulama terhadap al-Albani tentu tidak mengeluarkannya dari kodrat seorang manusia yang mungkin saja berbuat kekeliruan atau kesalahan. Namun demikian kekeliruannya tenggelam dalam lautan kebaikannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Shaffut Nurudin rahimahullah, pemimpin Jamaah al-Anshar Sunnah Muhammadiyyah (Mesir) sebagai berikut: “Al-Albani rahimahullah salah seorang tokoh terdepan yang memiliki karya tulis dalam jumlah besar dan telah banyak berbuat kebaikan, kesalahan-kesalahannya tenggelam di lautan kebaikannya, ucapan-ucapan para pencela tergilas oleh ungkapan-ungkapan mereka yang dengan ikhlas dan jujur memuji keberhasilannya.” [Lihat Majalah al-Ashaalah edisi 23 hal. 72]
Mahabenar Allah yang telah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah: 11)
Syaikh Muhammad bin Shaleh ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat para ulama di akhirat dan di dunia. Adapun di akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat mereka sesuai dengan usaha yang telah mereka kerjakan, berupa dakwah mengajak manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengamalkan ilmu mereka. Sedang di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat mereka di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan jerih payah yang telah mereka usahakan.” [Lihat kitab al-Ilmu oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh 'Utsaimin hal. 20]
Wallahu a’lam bish-shawab.

_______
Catatan Kaki :
[1] HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Iraqi, al-Albani dan lainnya, lihat Hayat al-Albani jilid 2 hal. 555, Shahih Sunan Abi Dawud jilid 3 hal. 23 hadits no. 4291, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 599, jilid 2 hal. 148, ‘Aunul Ma’bud jilid 1 hal. 259.
[2] Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, jilid 2 hal. 148-149, cetakan Maktabah al-Ma’arif, Riyadh Saudi Arabia, Siyar A’lamin-Nubala’, jilid 10 hal. 46.
Untuk artikel terkait masalah pembelaan terhadap al Muhadits Syaikh Al Albany, dapat di lihat pada artikel berikut :
 ●  PEMBELAAN TERHADAP AL-IMAM AL-MUHADDITS AL-ALBANY DARI KEDUSTAAN HASAN ALI AS-SAQQOF DAN PENDUKUNGNYA
 ● IJAZAH HADIST SYAIKH AL-ALBANY

Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.

Sumber:
1. Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul. Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 – 1428H. Dialihbahasakan oleh Abu Musa Al-Atsari Lc, dari situs sahab.net. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya.
2. Syaikh al Albani Dihujat, Ustadz Abu Ubaidah, Pustaka Abdullah Jakarta, Cetakan Pertama, 5 Oktober 2005, 1 Ramadhan 1426 H & Kitab “Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1. Penerbit: Pustaka Sahifa Jakarta.
3. Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad Ini karya Mubarak bin Mahfudh Bamuallim Lc. Penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Bogor cet. 1 Shafar 1424 H / April 2003, hal. 178-184.
4. Gholib Arif Nushoiroot
5. Islam Kaffah
Biografi :
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Beliau adalah Pembaharu Islam (mujadid) pada abad ini. Karya dan jasa-jasa beliau cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu Hadits. Beliau telah memurnikan Ajaran islam terutama dari hadits-hadits lemah dan palsu, meneliti derajat hadits.


Nasab (Silsilah Beliau)


Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani.

Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu.Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari`at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya.

Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.


Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum`iyah al-Is`af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida`iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur`an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.


Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.


Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni `an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar. Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya` Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).


Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.


Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.


Pengalaman Penjara


Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid`ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.


Beberapa Tugas yang Pernah Diemban


Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jami`ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam`iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.


Beberapa Karya Beliau


Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :

Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
At-Tawasul wa anwa`uhu
Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.


Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.


IJAZAH HADIST IMAM AL-ALBANY

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany memiliki ijazah hadits dari ‘Allamah Syaikh Muhammad Raghib at-Tabbagh yang kepadanya beliau mempelajari ilmu hadits, dan mendapatkan hak untuk menyampaikan hadits darinya. Syaikh Al-Albany menjelaskan tentang ijazah beliau ini pada kitab Mukhtasar al-‘Uluw (hal 72) dan Tahdzir as-Sajid (hal 63). Beliau memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjatul Baytar (dimana isnad dari Syaikh terhubung ke Imam Ahmad). Keterangan tersebut ada dalam buku Hayah al-Albany (biografi Al-Albany) karangan Muhammad Asy-Syaibani. Ijazah ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar ahli dalam hadits dan dapat dipercaya untuk membawakan hadits secara teliti.
Ijazah serupa juga dimiliki murid Syaikh Al-Albany, yaitu Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Jadi, adalah tidak benar jika dikatakan bahwa Syaikh hanya belajar dari buku, tanpa ada wewenang dan tanpa ijazah.

Dalam pembahasan ini, saya pikir tidak mengapa untuk memberikan sedikit gambaran tentang kehidupan dan pekerjaan Syaikh Al-Albany agar kita lebih yakin perihal kedudukan beliau dalam bidang ilmu hadits, semisal penghormatan dari ulama-ulama lain yang ditunjukan kepada beliau. Mungkin satu atau dua penjelasan pendek belumlah mencukupi, meski begitu, saya berharap informasi ini cukup menarik dan dapat memberi semangat kepada para pembaca:

1. Syaikh Al-Albany dilahirkan pada taun 1914 M di Asykodera, ibukota pertama Albania.

2. Syaikhnya yang pertama adalah ayahnya, Al-Hajj Nuh An-Najjati, yang telah menyelesaikan belajar Syari’ah di Istanbul dan kembali ke Albania sebagai seorang ulama Hanafiyah. Di bawah bimbingan ayahnya, Syaikh Al-Albany belajar Quran, tajwid dan bahasa Arab, dan juga fiqh Hanafiyah.

3. Beliau belajar fiqh hanafiyah lebih lanjut dan bahasa Arab dari Syaikh Sa’id al-Burhan.

4. Beliau mengikuti pelajaran dari Imam Abdul Fattah dan Syaikh Taufiq Al-Barzah


5. Syaikh Al-Albany bertemu dengan ulama hadits zaman ini, Syaikh Ahmad Syakir, dan beliau ikut berpartisipasi dalam diskusi dan penelitian mengenai hadits.

6. Beliau bertemu dengan ulama hadits India, Syaikh Abdus Shamad Syarafuddin, yang telah menjelaskan hadits dari jilid pertama kitab Sunan al-Kubra karya An-Nasai, seperti halnya karya Al-Mizzi yang monumental, Tuhfat al-Asyraf, yang selanjutnya mereka berdua saling berkirim surat tentang ilmu. Dalam salah satu surat, Syaikh Abdus Shamad menunjukkan keyakinan beliau bahwa Syaikh Al-Albany adalah ulama hadits terbesar saat ini.

7. Sebagai pengakuan terhadap keilmuannya mengenai hadits, pada tahun 1955 Syaikh Al-Albany ditugaskan di Fakultas Syariah Universitas Damaskus untuk menganalisa dan meneliti secara terperinci mengenai hadits-hadits jual beli dan yang berhubungan dengan transaksi bisnis lain.

8. Syaikh Al-Albany memulai pekerjaannya secara resmi pada bidang hadits dengan men-transkrip karya monumental Al-Hafidz al-Iraqy, yaitu Al-Mughni ‘an Hamlil-Ashfar -sebuah studi tentang beragam hadits- dan riwayat-riwayat pada karya terkenal Al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin. Pekerjaan ini sendiri mencakup lebih dari 5000 hadits.

9. Syaikh selalu mengunjungi perpustakaan Dhahiriyyah di Damaskus, sehingga kemudian beliau diberi kunci perpustakaan, karena beliau sering berada di sana dan belajar dalam waktu yang lama. Suatu hari, selembar kertas hilang dari manuskrip yang digunakan Syaikh Al-Albany. Kejadian ini menjadikan beliau mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membuat catalog seluruh manuskrip hadits di perpustakaan agar folio yang hilang tersebut biasa ditemukan. Karenanya, beliau mendapatkan banyak ilmu dari 1000 manuskrip hadits, sesuatu yang telah dibuktikan beberapa tahun kemudian oleh Dr. Muhammad Mustafa A’dhami pada pendahuluan “Studi Literatur Hadits Awal”, dimana beliau mengatakan, “Saya mengucapkan terimakasih kepada Syaikh Nashiruddin Al-Albany, yang telah menempatkan keluasan ilmunya pada manuskrip-manuskrip langka dalam tugas akhir saya”.

10. Syaikh Al-Albany kadang-kadang terlihat keadaannya yang amat miskin selama hidupnya. Beliau mengatakan sering mengambil sobekan-sobekan kertas dari jalan –biasanya berupa kartu undangan pernikahan-, yang kemudian digunakan untuk menulis haditsnya. Seringkali, dia membeli potongan-potongan kertas dari tempat pembuangan dan membawanya ke rumah untuk dipakai.

11. Beliau senantiasa berkorespondensi dengan banyak ulama, terutama yang berasal dari India dan Pakistan, mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan hadits dan agama pada umumnya, termasuk dengan Syaikh Muhammad Zamzami dari Maroko dan 'UbaiduLlah Rahman, pengarang Mirqah al-Mafatih Syarh Musykilah al-Mashabih.

12. Keahliannya dalam bidang hadits diakui oleh banyak ulama yang berkompeten,baik masa lalu maupun sekarang, termasuk Dr. Amin Al-Mishri, kepala Studi Islam di Universitas Madinah yang juga termasuk salah satu murid Syaikh Al-Albany, juga Dr. Syubhi Ash-Shalah, mantan kepala bidang Ilmu Hadits di Universitas Damaskus, Dr. Ahmad Al-Asal, kepala Studi Islam di Universitas Riyadh, ulama hadits Pakistan sekarang, ‘Allamah Badi’uddien Syah As-Sindi; Syaikh Muhammad Thayyib Awkij, mantan kepala Ilmu Tasfir dan Hadits dari Universitas Ankara di Turki; belum lagi pengakuan dari Syaikh Ibn Baaz, Ibnul ‘Utsaimin, Muqbil bin Hadi, dan banyak lagi yang lain pada masa berikutnya.

13. Setelah sejumlah hasil karyanya dicetak, selama tiga tahun Syaikh terpilih untuk mengajar hadits di Universitas Islam Madinah, sejak tahun 1381 H sampai 1383 H, dimana beliau juga bertugas sebagai anggota dewan pengurus universitas (setelah itu beliau kembali ke tempat studi pertamanya dan mengkhidmatkan dirinya pada perpustakaan Adh-Dhahiriyyah). Kecintaan beliau pada Universitas Madinah dibuktikan dengan mewariskan seluruh koleksi perpustakaan pribadinya ke Universitas.

14. Beliau mengajar dua kali sepekan di Damaskus, yang dihadiri oleh banyak mahasiswa dan dosen universitas. Di sini, Syaikh menyelesaikan pengajarannya pada karya klasik dan modern (edited):

1. Fath al-Majid, karya Abdur Rahman bin Hushain Alu Syaikh
2. Raudhah an-Nadiyyah karya Siddiq Hasan Khan
3. Minhaj al-Islamiyah karya Muhammad As’ad
4. Ushul al-Fiqh, karya al-Khallal
5. Mustholah at-Tarikh, karya Asad Rustum
6. Al-Halal wa al-Haram karya Yusuf Qardhawi
7. Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq
8. Ba’its al-Hadits karya Ahmad Syakir
9. At-Taghib wa at-Tarhib karya Al-Hafidz Al-Mundziri
10. Riyadh ash-Shalihin karya Imam An-Nawawi
11. Al-Imam fi Ahadits al-Ahkam, karya Ibnu Daqiqil ‘Ied


15. Setelah menganalisa hadits-hadits pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah,seorang ulama hadits India, Muhammad Musthofa A’dhami (kepala Ilmu Hadits di Makkah), memilih Syaikh Al-Albany untuk memeriksa dan mengoreksi kembali analisanya, dan pekerjaan tersebut telah diterbitkan empat jilid, lengkap dengan ta’liq (catatan, red) dari keduanya. Ini adalah tazkiyah dari ulama yang lain atas keilmuan hadits Syaikh Al-Albany.


16. Pada edisi dari himpunan hadits terkenal, Misykah al-Mashabih,penerbit Maktabah Islamy meminta Syaikh Al-Albany untuk memeriksa pekerjaan mereka sebelum diterbitkan. Pihak penerbit telah menulis pada bagian pendahuluan, ”Kami meminta kepada ulama hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, untuk membantu kami dalam memeriksa Misykat dan bertanggung jawab untuk memberi tambahan hadits-hadits yang diperlukan dan meneliti serta memeriksa kembali sumber-sumber dan keasliannya pada tempat-tempat yang diperlukan, dan membetulkan kesalahan-kesalahan…”

17. Hasil karya Syaikh yang telah dicetak, terutama pada bidang hadits dan ilmu perangkatnya (seperti ilmu Mustholah Hadits, Jarh wa Ta’dil, Rijalul Hadits, edit.) berjumlah sekitar 112 buku. Tujuh belas diantaranya sebanyak 45 jilid. Beliau meninggalkan manuskrip minimal tujuh puluh karangan.

18. Telah terekam suatu kejadian (dan kejadian ini terdapat pada dua kaset –murid-murid beliau sering merekam pelajaran beliau), bahwa seorang laki-laki telah mengunjungi Syaikh Al-Albany di rumahnya di Yordania dan menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Nabi! Bagaimana reaksi kita ketika berada pada situasi ini? Syaikh Al-Albany meminta lelaki itu duduk dan mendiskusikan pernyataannya tersebut dalam waktu yang lama (seperti yang saya katakana: ada pada dua kaset), sehingga pada akhirnya, si tamu tersebut bertaubat dari klaimnya itu dan semua yang hadir, termasuk Syaikh turut menangis. Pada kenyataannya, sudah berapa sering terdengar Syaikh Al-Albany menangis ketika berbicara mengenai Allah, Rasul-Nya, dan muamalah antar Muslim?

19. Pada kejadian yang lain, beliau dikunjungi tiga orang yang kesemuanya menuduh Syaikh Al-Albany kafir. Ketika waktu sholat tiba, mereka menolak untuk bermakmum kepada Syaikh, karena tidak mungkin bagi seorang kafir menjadi imam sholat. Syaikh menerima hal ini, dan mengatakan bahwa menurut pandangannya, ketiga orang ini adalah Muslim, sehingga salah satu dari mereka berhak menjadi imam sholat. Tak lama kemudian, mereka bertiga berdebat lama sekali mengenai perbedaan di antara mereka sendiri, dan ketika waktu sholat berikutnya telah tiba, ketiga laki-laki ini mendesak untuk ikut sholat dibelakang Syaikh Al-Albany !

20. Selama hidupnya, Syaikh telah meneliti dan men-ta’liq lebih dari 30.000 silsilah perawi hadits (isnaad) pada hadits-hadits yang tidak terhitung jumlahnya, dan menghabiskan waktu enam puluh tahun untuk belajar buku-buku hadits, sehingga buku-buku tersebut menjadi sahabat sekaligus berhubungan dengan ulama-ulamanya (pengarang kitab-kitab Sunnah tersebut, pent)
Wafatnya

Beliau wafat pada hari Jum`at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi`ah wa jazahullahu`an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na`im al-Muqim.

1 komentar:

  1. Tuduhan2 itu benar semua... cuma tulisan ini berasal dari orang yang super fanatik... no.8 bnr itu banyak kontradiksi.. browsing aja biar jelas satupersatu.. kalo dibandingkan dg Al Bukhori yg memang Muhadditsud dunya beneran, ya jauuhhh.. imam bukhori ga ada salahnya dlm hadits dan sudah teruji hafalannya, bnr2 tamamud dzabth.. nilai 100 kalo ibarat tes.. sayangnya, imam bukhori pun di cela oleh albani, kurang ajar kan..??

    BalasHapus