Orang-Orang Tasawuf/Sufi Menyelisihi Akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Satu kebohongan jika mereka mengklaim sebagai pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah Imam Ahlus Sunnah yang teguh dan kokoh di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Penulis Mukhalafatus Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tidaklah mengambil dari beliau kecuali dalam perkara fiqih dan ibadah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Namun mereka tidak mengikuti jalan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.” (Mukhalafatush Shufiyah hal. 19)
Kami akan sebutkan beberapa penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah akidah.
Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah rububiyah
Banyak sekali keyakinan shufiyah dalam masalah rububiyah yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menyimpang dari pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Di antaranya:
1. Shufiyah mengaku wali mereka tahu ilmu ghaib
Ilmu ghaib adalah perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada satu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ؛ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ إِلاَّ اللهُ، وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا تَكْسِبُ غَدًا وَلَا تَدْرِي بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِلاَّ اللهُ، وَلَا يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِي الْـمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ الله،ُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ
“Lima kunci perkara ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah, tidak ada jiwa yang mengetahui apa yang akan diperbuatnya esok hari dan tidak pula tahu di mana jiwa itu akan mati kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari hal. 4697)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Telah ditutup ilmu tentang kapan hari kiamat dari Nabi-Nya. Sedangkan selain malaikat yang didekatkan dan nabi-nabi yang terpilih, ilmunya lebih sedikit dari mereka ….” (Al-Umm) [Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 96-100]
2. Shufiyah meyakini wali-wali mereka bisa mencipta dan mengatur alam
Penciptaan adalah khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
Namun Jufri Al-Khadrami, seorang tokoh ekstrem shufi saat ini, menyatakan bahwa seorang wali punya kemampuan menciptakan anak di rahim seorang ibu tanpa ada bapak. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Bahkan dia berani menyatakan bahwa wali-walinya punya kemampuan menghilangkan musibah orang yang ber-istighatsah (meminta tolong dihilangkan musibah) kepadanya. Dengan lancang ia bahkan berkata: “Pengaturan yang dilakukan wali bahkan sampai di surga dan neraka.” (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 32-33)
Penyelisihan shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara masalah asma’ dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shufiyah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah:
1. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menetapkan semua sifat yang terdapat dalam nash/dalil
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah, sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjelaskan keadaan Dajjal:
إِنَّهُ أَعْوَرُ وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah, dan Rabb kalian tidaklah buta sebelah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang terbunuh di medan perang, dia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa kepadanya.1
Bagaimana dengan shufiyah?
Shufiyah telah menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i dan salafus shalih. Mereka melakukan tahrif (penyelewengan makna) dan takwil. Mereka tidaklah menetapkan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali tujuh saja. (Mukhalafatush Shufiyah hal. 37-38 secara ringkas)
Shufiyah mengingkari Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas
Di antara keyakinan Ahlus Sunah wal Jamaah adalah meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas arsy-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia naik di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, ketika dia hendak membebaskan budaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan: “Di mana Allah?” Hamba sahaya tadi menjawab: “Allah di atas.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi berkata: “Engkau utusan Allah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bebaskanlah, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Pemahaman Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu:
Ibnul Qayim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan sanadnya bahwa beliau rahimahullahu berkata, “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam zhihar2. Beliau rahimahullahu berkata: “Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku dari Hilal bin Usamah, dari Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya punya seorang budak perempuan yang menggembala kambing. Ketika saya mendatanginya, ternyata seekor kambing telah hilang. Ketika saya bertanya kepadanya, dia menjawab bahwa kambing itu dimakan serigala. Saya pun marah kepadanya. Saya adalah seorang bani Adam (yang bisa berbuat khilaf, red.) sehingga saya menempeleng wajahnya. Saya punya kewajiban membebaskan budak. Apakah saya boleh membebaskannya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada budak tersebut: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapa aku?” Budak tadi menjawab: “Engkau Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata: “Bebaskanlah dia.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Nama sahabat tadi (sebenarnya) Mu’awiyah bin Al-Hakam (bukan Umar bin Al-Hakam sebagaimana dalam riwayat, red.), demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.”
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin. Beliau rahimahullahu menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas sebagai tanda keimanan.
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah ini dan juga meninggalkan akidah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Sebagian mereka menyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana-mana. Sebagian mereka bahkan ada yang mengingkari pertanyaan: di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk yang terbaik, telah menguji keimanan seorang hamba sahaya dengan pertanyaan semacam ini. (Lihat pembahasan lebih detail pada Mukhalafatush Shufiyah hal. 41-53)
Penyelisihan Shufiyah terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam masalah Uluhiyah
1. Shufiyah menyeru kepada kesyirikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnul Qayyim rahimahullahu meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan sanadnya, beliau berkata: “Pernyataan tentang akidah yang aku berada di atasnya, dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, yang aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta keduanya, adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya.Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata: “Orang-orang shufiyah berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berdoa kepada nabi. Juga kepada wali mereka yang masih hidup ataupun yang telah mati. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hilangkanlah musibah yang menimpa kami. Tolonglah kami. Engkaulah tempat menyandarkan diri.’ Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang berdoa kepada selain-Nya dan menganggapnya sebagai sebuah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus:106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Doa adalah ibadah seperti halnya shalat. Tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun kepada rasul atau wali. Berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik besar yang menggugurkan amal dan mengekalkan pelakunya di neraka. (Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah)
2. Shufiyah mengajarkan sihir
Sihir adalah satu perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 102)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan kepadanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang yang tujuh, yakni meyakini bahwa bintang-bintang bisa berbuat apa yang dimintai darinya, maka dia kafir. Jika cara itu menyebabkan kafir dan dia meyakini kebolehan melakukannya, maka kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Bagaimana dengan shufiyah?
Mereka bukan hanya pelaku, bahkan sumber dan penyebar sihir di umat ini. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menyebutkan di antara sebab-sebab tersebarnya sihir adalah:
1. Menyebarnya kebodohan
2. Permusuhan di antara kaum muslimin dan selain mereka
3. Berkuasanya orang-orang kafir atas kaum muslimin
4. Menyebarnya kelompok sesat dan merusak.
Beliau juga menegaskan, shufiyah termasuk sumber sihir. Beliau terangkan bahwa sumber sihir di alam ini adalah:
1. Yahudi
2. Rafidhah dan Batiniyah
3. Shufiyah
4. Ahlul Kalam (Filsafat)
5. Buku-buku yang ditulis tentang masalah sihir
Di antara bukti yang menunjukkan shufiyah adalah orang-orang yang banyak andil dalam penyebaran sihir, adalah buku-buku sihir yang ditulis oleh tokoh-tokoh shufiyah. Di antaranya:
1. Buku Syamsul Ma’arif Al-Kubra
Penulisnya adalah Ahmad Al-Buni. Di akhir bukunya, dia menerangkan sanad-sanad ilmu sihirnya yang dinisbatkan kepada banyak tokoh shufi ekstrem.
2. Buku Rahmah fi Thibb wal Hikmah
Penulis buku ini, Mahdi bin Ibrahim Ash-Shabiri, adalah seorang tokoh shufi ekstrem.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Di antara khurafat yang paling hina dalam buku ini adalah yang disebutkan penulisnya dalam judul masalah obat kebutaan: diambil darah haid wanita yang belum pernah didatangi pria (masih gadis, red.), lalu dicampur dengan mani, digunakan sebagai celak mata, ini akan menghilangkan gangguan pada mata.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Al-Imam berkata: “Tidak ada yang melakukan hal ini kecuali orang yang dungu dan hilang akalnya.”
Asy-Syaikh juga berkata: “Buku-buku shufi ekstrem dipenuhi sihir dan tanjim (astrologi, red.).” (Lihat Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati Alamatis Sihri hal. 54-67)
3. Shufiyah membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلٌ الصَّالِحٌ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu jika mati dari mereka seorang yang shalih, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”
Beliau rahimahullahu juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Bagaimana dengan shufiyah?!
Tidak samar lagi, kaum shufiyah adalah orang-orang yang paling getol membangun dan menyeru untuk membangun kuburan. Membangun kubah-kubah di atas kuburan, terutama kuburan orang yang mereka anggap sebagai wali.
1 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 2826) dan Muslim (no. 1890) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2 Zhihar yaitu menyerupakan istri dengan ibu kandung, seperti ucapan: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”
Sumber :
Abdillah Abburrahman Mubarak
Islam Kaffah
Niat Baik Semata Tidaklah Cukup
Semua pelaku bid'ah mengaku berniat baik dalam melakukan bid'ahnya
Sungguh telah benar apa yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ
((Islam ini muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya)).
Bid'ah telah tersebar dan merajalela di mana-mana bahkan telah mengakar dalam kehidupan kaum muslimin hingga orang awam menganggapnya merupakan syari'at Islam yang tegak dan apa saja yang menyelisihinya adalah kebatilan. Adapun orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka akan dianggap oleh mereka telah keluar dari sunnah dan telah membawa bid'ah (perkara yang baru).
Pembahasan bid'ah merupakan pembahasan yang sangat penting karena semua penyimpangan dan kesesatan yang bermunculan dalam kelompok-kelompok sesat asal muasalnya adalah karena bid'ah yang telah mereka lakukan yang menyelisihi apa yang telah dijalani oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik penyimpangan tersebut dalam masalah aqidah (keyakinan) maupun dalam perkara amalan.
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan)) (HR Abu Dawud 4/200 no 4607 dan adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih yang tidak ada ‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).
Cukuplah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini dalam dunia Islam menjadi bukti besarnya bahaya bid’ah. Betapa banyak kelompok sesat yang ada di dunia Islam. Ada Al-Qur’aniun (kelompok yang menolak seluruh hadits-hadits Nabi), Ahmadiah (golongan yang mengaku ada Nabi baru), Mu'tazilah (yang menolak hadits-hadits ahad, bahkan menolak hadits-hadits mutawatir seperti hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya adzab qubur), Jema’ah-jema’ah takfir yang jumlahnya sangat banyak (yaitu jema’ah-jema’ah yang mengkafirkan orang-orang yang berada diluar golongannya karena tidak berbai’at kepada imam mereka), kelompok tharekat-tharekat sufiah yang sesat yang jumlahnyapun sangat banyak (yang beribadah atau berdzikir dengan cara-cara yang khusus, setiap tharekat caranya berbeda dengan taharekat yang lain), kelompok yang menganggap diri mereka telah sampai pada derajat hakekat sehingga boleh meninggalkan syari’at sehingga tidak perlu sholat lagi, Syi’ah yang menghalalkan nikah kontrak (walaupun hanya satu jam saja pernikahannya setelah itu langsung cerai yang tidak lain ini adalah perzinahan) dan mengkafirkan sebagian besar para sahabat (termasuk Abu Bakar Umar yang telah dijamin masuk surga), Wihdatul wujuud (yang menyakini bahwa Allah menitis pada makhluknya), Jahmiyyah (yang meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat) dan masih banyak sekali kelompok-kelompok yang lain.
Yang anehnya setiap kelompok merasa diri merekalah yang paling benar. Tidaklah kesesatan mereka timbul kecuali karena bid’ah yang mereka ada-adakan. Setiap kelompok punya bid’ah khusus yang tidak terdapat pada kelompok yang lain. Dan kelompok-kelompok tersebut jika ditanya tentang niat mereka dalam melakukan bid'ah maka semuanya akan menyatakan niat mereka adalah baik dalam rangka untuk membenahi cara beragama kaum muslimin.
- Jika Jahmiyyah ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, Allah tidak berilmu, Allah tidak maha mendengar?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena melihat, berilmu, dan mendengar merupakan sifat-sifat makhluk.
- Jika mu'tazilah ditanya : Kenapa kalian juga menolak sifat, bahkan kalian mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat?, maka mereka akan berkata : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat jismiyah, karena sesuatu yang bisa dilihat pasti dilihat dari suatu arah, dan sesuatu yang ada di suatu arah pasti berjism
- Jika Asyaa'iroh mutaakhirin ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di dalam alam dan tidak di luar alam?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena yang berada di atas adalah makhluk yang berjism, demikian juga yang di bawah.
- Jika Syi'ah ditanya : Kenapa kalian menyayat tubuh kalian hingga berdarah tatkala memperingati hari Asyuuroo?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik untuk ikut merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan oleh Imam Al-Husain yang terbunuh tatkala hari asyuuroo.
Seluruh pelaku bid'ah berniat baik tatkala melakukan bid'ahnya. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Ibnu Mas'uud radhiallahu 'anhu :
وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya"
Niat baik??, tidak cukup!!!
Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.
Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.
Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita) kepada selain Allah.
Allah berfirman:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ (البينة: من الآية5)
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
Syahadat yang kedua “Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita mengambil syariat kecuali dari syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan syahadatnya kepada Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak diterima oleh Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)
Berikut ini beberapa bukti bahwa niat yang baik saja tidak cukup untuk menjadikan suatu amalan adalah amalan sholeh yang diterima di sisi Allah.
Contoh yang pertama
عَنِ الْبَرَاء بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ (وفي رواية:فَلْيَذْبَحْ أُخرى مَكَانَهَا).
فقام أبو بردة بن نِيَارٍ فقال : يا رسولَ الله واللهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قبلَ أنْ أَخْرُجَ إلى الصَّلاةِ وَعَرَفْتُ أن اليومَ يومُ أكلٍ وشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وأكلتُ وأطعمتُ أهْلِي وَجِيْرَانِي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ
Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami pada waktu hari ‘iedul adha, lalu ia berkata, “Barangsiapa yang sholat ‘ied kemudian menyembelih hewan kurban maka dia telah benar dan barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat ‘ied maka sembelihannya hanyalah sembelihan biasa (bukan sembelihan kurban) (Dalam riwayat yang lain (HR Al-Bukhari no 985) “Maka hendaknya ia menyembelih sembelihan yang lain sebagai gantinya!)”. Abu Burdah bin Niyaar berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah aku telah menyembelih sembelihanku sebelum aku keluar untuk shalat ‘Ied, dan aku mengetahui bahwasanya hari ini adalah hari makan minum maka akupun bersegera (menyembelihnya) lalu memakannya dan aku memberi makanan kepada keluargaku dan para tetanggaku”. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Daging sembelihanmu itu hanyalah daging biasa (bukan daging kurban)”( HR Al-Bukhari no 983)
Dalam riwayat yang lain Abu Burdah berkata, وَ أَحببْتُ أن تَكون شَاتِي أولَ مَا يُذْبَح فِي بيتِي “Aku ingin agar kambingku adalah kambing yang pertama kali disembelih di rumahku” (HR Al-Bukhari no 955)
Dalam riwayat yang lain (HR Muslim 3/1552) Abu Burdah berkata, وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ أهلي وجيراني وأهلَ دَاري “Ya Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku, para tetanggaku, dan para familiku!”
Berkata Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no 5557)
Lihatlah bagaimana niat baik Abu Burdah tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima padahal ia melakukannya bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal itu. Padahal kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan ide yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam keadaan lapar dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena telah disembelih sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang cemerlang ini melanggar syari’at Nabi dan meskipun disertai dengan niat yang baik tidak bisa menjadikan amalan tersebut diterima.
Contoh yang kedua
عن أنس قال : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبّ إِليهم مِنْ رسولِ الله صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّم قال وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لَذَلِكَ
Anas bin Malik berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, namun jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah membenci akan hal itu” (HR At-Thirmidzi no 2763, Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya (5/234), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah (1/698))
Berkata Imam An-Nawawi, “…Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam khawatir akan menimpa para sahabat fitnah jika mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan dirinya, maka beliau membenci jika para sahabat berdiri dikarenakan akan hal ini sebagaimana sabda beliau shalallahu 'alaihi wa sallam : لا تُطْرُوْنِي “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku…” (Fathul Bari 11/64, syarh hdits no 6262)
Setiap kita mengetahui bahwa sifat dasar manusia adalah ingin dihargai dan dihormati. Oleh karena itu banyak orang yang senang jika tatkala ia masuk dalam ruangan kemudian para hadirin yang tadinya dudukpun berdiri menghormatinya. Bahkan hal ini dipraktekan dalam lembaga-lembaga perkantoran, hingga dilingkungan pendidikan. Bahkan tak jarang seorang guru marah jika ia masuk ke dalam kelas kemudian murid-muridnya tidak berdiri menghormatinya. Oleh karena itu merupakan ide yang cemerlang jika datang seseorang yang terhormat lantas kita berdiri untuk menghormatinya, tentunya ia akan merasa senang. Demikian juga hal ini terlintas di benak para sahabat untuk berdiri menghormati Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam jika ia datang. Namun ide yang cemerlang ini mereka timbang dengan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Ternyata sunnah Nabi menunjukan bahwa Nabi tidak suka akan hal itu, maka para sahabatpun tidak mempraktekannya.
Contoh yang ketiga
جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم يسألون (وفي رواية: سألوا أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عن عمله في السر) عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم فلما أخبروا كأنهم تُقَالُّوْهَا فقالوا وأين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمَّا أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر انا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أمَا والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني
Dari Anas bin Malik, Ia berkata, :Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi (Dalam riwayat Muslim: “Mereka bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amalan Nabi yang tidak terang-terangan). Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimanakah kita jika dibanding dengan Nabi?, ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang”. Seorang diantara mereka berkata, “Adapun aku maka aku akan sholat malam selama-lamanya (tidak tidur malam)”, yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahar dan aku tidak akan pernah buka”, dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Lalu datanglah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian?, ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku” (HR Al-Bukhari no 5063, dalam riwayat Muslim (2/1020) وقال بعضهم لا آكل اللحم وقال بعضهم لا أنام على فراش “Berkata salah seorang dari mereka, “Aku tidak akan memakan daging”, berkata yang lain, “Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur” )
Ibnu Hajar berkata “Dan dalam riwayat yang mursal dari Sa’id ibnul Musayyib sebagaimana dikeluarkan oleh Abdurrozaq dalam musonnafnya (6/167) bahwasanya tiga orang tersbut adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Utsman bin Madz’un” (Fathul Bari 9/132)
Kalau kita perhatikan mereka tiga orang tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak menghendaki keburukan. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud kepada Allah. Mereka memandang bahwa kehidupan dunia ini fana lalu merekapun mengedepankan hak Allah dari pada kesenangan kehidupan duniawi. Tatkala mereka mengetahui ibadah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang telah dimaafkan dosa-dosa beliau baik yang telah lampau maupun yang akan datang, maka mereka berkesimpulan bahwa ibadah mereka harus lebih banyak dari apa yang telah diamalkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam karena tidak ada jaminan ampunan dosa-dosa mereka yang telah lampau apalagi dosa-dosa yang akan datang. Mereka beranggapan bahwa barangsiapa yang tidak dijamin ampunan dosa-dosanya maka harus berlebih-lebihan dalam beribadah dengan harapan memperoleh ampunan Allah dengan ibadah yang berlebih-lebihan tersebut. (Lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Al-Fath 9/132). Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam membantah persangkaan mereka dengan berkata إني لأخشاكم لله وأتقاكم له “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian” untuk menjelaskan bahwa bukan merupakan suatu kelaziman bahwa orang yang lebih takut kepada Allah (karena belum jelas jaminan ampunan dosa) harus berlebih-lebihan dalam beribadah, karena bagaimanapun juga Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (walaupun telah diampunkan dosa-dosa) beliaulah yang lebih takut kepada Allah dibandingkan mereka, namun beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. (Lihat Fathul Bari 9/132) Nabi tidak berkata kepada mereka “Bersungguh-sungguhlah, teruskan niat baik kalian semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan memudahkan kesungguhan kalian dalam beribadah kepada Allah”, namun Nabi sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka, karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu, beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita” untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri bantahannya dengan perkataannya yang keras “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk dariku”
Contoh yang keempat
أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟ قُلْنَا : لاَ ، فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ - قَالَ - رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً حِلَقاً جُلُوساً يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ، وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ، وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحوا بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ
Berkata Imam Ad-Darimi dalam sunannya, “Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarok, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Yahya”, ia berkata, “Aku mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya”, ia berkata, “Kami duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat subuh, jika ia keluar dari rumahnya maka kamipun berjalan bersamanya menuju mesjid. Lalu datang Abu Musa Al-As’ari dan berkata, “Apakah Abu Abdirrohman (yaitu Abdullah bin Mas’ud) telah keluar menemui kalian?”, kami katakan, “Belum”, maka iapun duduk bersama kami hingga keluar Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Abdullah bin Mas’ud keluar dari pintunya kamipun semua berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Ya Abu Abdirrahman, aku baru saja melihat suatu perkara yang aku ingkari di mesjid, namun menurutku –alhamdulillah- adalah perkara yang baik”. Abdullah berkata, “Perkara apakah itu?”, Abu Musa berkata, “Jika engkau panjang umur maka engkau akan melihatnya, aku telah melihat di mesjid sekelompok manusia yang duduk berhalaqoh-halaqoh menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang (yang memimpin mereka) dan ditangan mereka ada kerikil-kerikil. Maka orang ini berkata, “Bertakbirlah seratus kali!” maka merekapun bertakbir seratus kali. Ia berkata, “Bertahlillah seratus kali!” maka merekapun bertahlil seratus kali. Ia berkata, “Bertasbihlah seratus kali!” maka merekapun bertasbih seratus kali.”. Abdullah berkata, “Apa yang kau katakan kepada mereka?”, Abu Musa berkata, “Aku tidak mengatakan sesuatupun karena menanti pendapatmu atau perintahmu”. Berkata Abdullah, “Kenapa engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung-hitung kesalahan-kesalahan mereka dan engkau menjamin bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang!”. Kemudian berjalanlah Abdullah bin Mas’ud dan kamipun berjalan bersamanya hingga ia mendatangi salah satu dari halaqoh-halaqoh tersebut dan iapun berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Apa ini yang sedang kalian lakukan?”, mereka berkata, “Ini adalah kerikil-kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih”. Abdullahpun berkata, “Hitung saja kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) kalian maka aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun kebaikan kalian yang hilang. Wahai umat Muhammad sungguh cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian masih banyak tersebar, pakaian Nabi kalian masih belum usang dan tempayan-tempayan beliau masih belum pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Mereka berkata, “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Abdullah berkata, “Dan betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak meraihnya. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami bahwa akan ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka (yaitu hanya di mulut dan tidak sampai ke hati-pen), demi Allah aku khawatir kabanyakan mereka adalah kalian”, kemudian Abdullahpun berpaling dari mereka. Berkata ‘Amr bin Salamah, “Saya melihat bahwa kebanyakan mereka yang mengadakan halaqoh-halaqoh tersebut telah membela khowarij melawan kami tatkala perang An-Nahrowan” (HR AD-Darimi 1/69, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 5/11)
Perhatikanlah bagaimana kisah ini. Kalau sekilas diperhatikan apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik, mereka menunggu sholat sambil berdzikir kepada Allah. Bisa saja seseorang berkata, “Jika seseorang berdzikir sendirian sambil menunggu sholat bisa jadi dia ngantuk, berbeda jika berdzikir dilakukan secara berjamaah dengan satu suara, tentunya menimbulkan semangat dan menghilangkan kebosanan, jadi apa yang mereka lakukan adalah ide yang sangat baik dan cemerlang”. Sebagaiamana perkataan mereka menjelaskan niat mereka melakukan hal ini “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Namun ide cemerlang ini tatkala tidak sesuai dengan sunnah maka bukan merupakan syari’at Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, Kalau ia merupaka syari’at Rasulullah tentunya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya, karena merupakan kewajiban bagi Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam untuk menyampaikan semua perkara syari’at, semua kebaikan yang bisa mendekatkan umatnya ke surga dan mengingatkan umatnya dari semua perkara yang bisa mengantarkan mereka ke neraka. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبْيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
((Sesungguhnya tidak seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui bagi mereka dan mengingatkan umatnya dari kejelakan yang ia ketahui)) (HR Muslim 3/1472 no 1844)
Seluruh kebaikan yang diketahui Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam maka wajib baginya untuk menyampaikannya kepada umatnya. Oleh karena itu jika seseorang menganggap bid’ah itu baik maka ia telah menuduh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah berkhianat kepada Allah karena berarti ada syari’at yang diketahui oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam namun tidak ia sampaikan kepada umatnya.
Berkata Imam Malik:
مَنْ أَحْدَثَ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالىَ يَقُوْلُ ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di umat ini yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu maka dia telah menuduh bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah Allah karena Allah telah berfirman :
﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”(QS. 5:3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)
Kalau hal itu merupakan kebaikan tentu Rasulullah telah mengajarkannya kepada umatnya. Jika hal yang paling sepele saja (seperti adab makan, adab minum, sampai adab buang air) Rasulullah mengajarkannya apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang sangat agung yaitu berdzikir kepada Allah, tentunya Rasulullah lebih memperhatikannya untuk mengajarkannya kepada ummatnya. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada mereka “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Karena perbuatan mereka dengan mengadakan dzikir dengan cara yang khusus (yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) secara tidak langsung menunjukan bahwa apa yang dicontohkan oleh Rasulullah kurang bagus sehingga mereka perlu mengadakan model baru dalam beribadah.
Allah berfirman:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
Artinya: "Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman (yaitu para sahabat Nabi): "Kalau sekiranya dia (Al-Quran) adalah suatu kebaikan, tentulah mereka (orang-orang beriman) tiada mendahului kami (untuk beriman) kepadanya". (Al-Ahqof: 11)
Berkata Ibnu Katsir (tafsir surat Al-Ahqof ayat 11) menafsirkan ayat ini: "Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama'ah maka mereka mengomentari setiap perbuatan dan perkataan yang tidak datang dari para sahabat (bahwa perbuatan dan perkataan tersebut) adalah bid'ah, karena kalau seandainya perkataan dan perbuatan tersebut baik tentunya mereka (para sahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya sebab mereka tidaklah meninggalkan satupun kebaikan kecuali mereka bersegera untuk melakukannya"
Renungan…
Kita ketahui bersama bahwa sholat berjama’ah adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Kita juga tahu bahwa sholat tahiyyatul masjid adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Seandainya sekarang sekelompok orang setiap masuk masjid mereka melaksanakan sholat tahiyyatul masjid secara berjamaah apakah merupakan perkara yang baik??, tentu akan ada banyak orang yang mengingkari perbuatan mereka, karena perbuatan mereka itu sama sekali tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelum mereka, dan mereka telah terjatuh dalam bid’ah (walaupun mereka memandang apa yang mereka lakukan itu merupakan kebaikan).
Seandainya ada orang yang melaksanakan umroh kemudian mereka setiap sekali putaran thowaf ia sholat, apakah perbuatannya itu baik?? Tentu tidak, ia akan diingkari oleh semua orang karena perbuatannya itu tidak ada contohnya (walaupun sholat adalah perkara yang baik). Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan tata cara demikian.
Demikian juga seandainya jika seeorang yang sa’i antara sofa dan marwah kemudian setiap ia sampai di safa atau di marwa ia sholat sunnah karena bersyukur kepada Allah, apakah perbuatannya itu baik?? Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita katakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan tata cara demikian.
Atau jika ada seseorang yang setiap mau keluar dari mesjid ia berhenti sebentar dipintu mesjid untuk membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan An-Naas dengat niat meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan karena banyak syaithon berkeliaran di luar mesjid. Maka jelas ini adalah perbuatan bid’ah walaupun sepintas apa yang di lakukannya itu sangat baik. Dan kita tidak bisa mengingkarinya karena ia akan berdalil dengan dalil-dalil yang menjelaskan fadilah dan keutamaan membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Kita tidak bisa mengingkarinya kecuali dengan mengatakan bahwa apa yang engkau lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيْهَا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : ياَ أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى الصَّلاَةِ؟ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ
Dari Sa’id bin Al-Musayyib (yang merupakan seorang tabi’in -generasi setelah generasi sahabat- yang tersohor dengan ketakwaan dan kefaqihannya dalam perkara-perkara agama-pen) dia melihat seseorang setelah terbit fajar (setelah adzan subuh) sholat lebih dari dua rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujud dalam sholatnya tersebut. Maka Said bin Al-Musayyibpun melarangnya, orang itu berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena aku sholat?”, Sa’id menjawab, “Tidak, tetapi Allah mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah” (Dirwiayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (2/466) dan Abdurrozaq dalam musonnaf beliau (3/52))
Larangan Sa’id bin Al-Musayyib kepada orang itu karena tidak dikenal ada sholat sunnah antara adzan subuh dan iqomat kecuali dua rakaat sebelum sholat subuh. Oleh karena itu jika ada seseorang sholat dengan rakaat yang banyak sekali sebelum sholat subuh maka ia telah melanggar sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bis sowab.
Sumber :
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Islam Kaffah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar