Rabu, 23 Maret 2011

Sutrah ( pembatas ) dalam Sholat

Apa  itu Sutrah dalam Shalat? (Pendapat-Pendapat Ulama mengenai Sutrah Dalam Shalat)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillaah khairil anbiyaa’I wal mursaliin wa ‘alaa ‘aalihii wa shahbihii ajma’iin.
Amma ba’du:

Pengertian Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausu’atul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)



Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58)

Pendapat jumhur ini berdalil dengan:

- Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu secara marfu’:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ، فَإِنْ أَبى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)

Ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,” menunjukkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.

- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الْاِحتِلاَمَ وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بـِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ وَأَرْسَلْتُ الْأَتاَنَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فيِ الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

“Aku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz: إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ)

Dari lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.

- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga, ia berkata:

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.” (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)

Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ

“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)

Demikian pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu a’lam bish-shawab.

Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:

1. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.

2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:

وَرَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِـمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ

“Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.”

Tidaklah menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil ‘Id tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, bab Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)

Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, “Seakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang ma’ruf dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).” (Fathul Bari, 1/739)

Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik rahimahullahu pada lafadz إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.

Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dha’ifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)

3. Sedangkan hadits:

صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.”
adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib-nya hal.92, “Ia adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.” (Adh-Dha’ifah no. 5814)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata,
“Pendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma secara marfu’:

لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ ...

“Jangan engkau shalat kecuali menghadap sutrah….”

Beliau rahimahullahu juga berkata,
“Termasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syar’i tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (4/8-15).” (Tamamul Minnah, hal. 300)

Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)2

Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.

Kata Asy-Syaikh ‘Ali Al-Qari rahimahullahu,
“Diambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/115)

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ

“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan,
“Dalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.” (Al-Minhaj, 4/449)

Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu menyebutkan:

كَانَ جِدَارُ الْـمَسْجِدِ عِنْدَ الْـمِنْبَر، مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوْزُهَا

“Dinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 497)

Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata,
“Ini jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.” Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul ‘ilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu ‘Abidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)

Dalilnya adalah hadits Bilal radhiyallahu 'anhu:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْـجِدَارِ ثَلاَثَةُ أَذْرُعٍ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)

Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan ruku’ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)

Al-Baghawi rahimahullahu berkata,
“Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)

Faedah
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata,

“Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)

Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). Wallahu a’lam.


1 Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing hitam.
2 Dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang shalat sementara di hadapannya ada sutrah namun jarak antara dia dengan sutrahnya jauh, berarti dia memberi peluang kepada setan untuk mengganggu shalatnya. Sehingga bagaimana kiranya bila ada orang yang shalat sementara di hadapannya tidak ada sutrah? Hadits ini bisa menjadi dalil tentang wajibnya sutrah.
3 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)
4 Karena rangkaian sanadnya adalah dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Bilal.


Sutrah dalam Shalat

- Tiang masjid
Tiang yang ada di masjid dapat dijadikan sebagai sutrah sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat berikut.

Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata,
“Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiyallahu 'anhu memilih shalat di sisi tiang masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini.’ Beliau menjawab:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا

“Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)

- Tongkat yang ditancapkan
Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma memberitakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)

- Hewan tunggangan
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mengabarkan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَنَّهُ كَانَ يُعَرِّضُ رَاحِلَتَهُ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا

“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)

- Pohon
Sekali waktu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat menghadap sebuah pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullahu (1/138) dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ، وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ n، فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ

“Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 1/120)

- Dinding/tembok
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan ketika membahas tentang mendekat dengan sutrah.

- Tempat tidur
Pada kali yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tempat tidur sebagai sutrahnya sebagaimana berita dari istri beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha:

لَقَدْ رَأَيْتُنِي مُضْطَجِعَةً عَلَى السَّرِيْرِ فَيَجِيْءُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَتَوَسَّطُ السَّرِيْرَ فَيُصَلِّي

“Sungguh aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)

Dalam lafadz lain, Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ

“Sungguh aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)

- Benda yang tinggi
Boleh menjadikan sesuatu yang tinggi semisal mu`khiratur rahl sebagai sutrah. Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam, 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab:

مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ

“Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ

“Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)

Tidak Cukup dengan Garis
Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)

Al-Qarafi rahimahullahu mengatakan,
“Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)

Walaupun ada sebagian ahlul ‘ilmi berpandangan garis dapat dijadikan sebagai sutrah. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَـمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصَبْ عَصًا، فَإِنْ لـَمْ يَكُنْ مِنْ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا وَلاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Tamamul Minnah,
“Hadits ini sanadnya dhaif tidak shahih. Walaupun orang-orang yang disebutkan oleh penulis Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq) menganggapnya shahih. Namun ulama yang lebih banyak jumlahnya selain mereka telah mendhaifkan hadits ini dan mereka lebih kuat argumennya. Terlebih lagi adanya perselisihan dalam riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu tentang permasalahan ini.

Al-Hafizh rahimahullahu telah menukilkan dalam At-Tahdzib dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”

Sementara dalam At-Talkhish, Al-Hafizh rahimahullahu menyebutkan penshahihan Ahmad sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahullahu dalam Al-Istidzkar terhadap hadits di atas, kemudian beliau (Al-Hafizh) berkata, “Sufyan bin Uyainah, Asy-Syafi`i, Al-Baghawi rahimahumullah dan selain mereka, telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini.”

Dalam At-Tahdzib juga disebutkan, “Ad-Daraquthni rahimahullahu berkata, ‘Hadits ini tidak shahih, tidak tsabit.’ Asy-Syafi`i rahimahullahu berkata dalam Sunan Harmalah, ‘Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit.’ Al-Imam Malik rahimahullahu berkata dalam Al-Mudawwanah, ‘Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil.’

Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat (penyakit yang mencacati), yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)

Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berdalil dengan hadits mu`khiratur rahl untuk menyatakan garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/414)

Faedah
Al-Qarafi rahimahullahu berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)

Sutrah Tidak Wajib bagi Makmum
Kewajiban sutrah ini secara khusus bagi imam dan orang yang shalat sendiri, baik dalam keadaan mukim (tidak bepergian) ataupun dalam keadaan bepergian (safar), shalat wajib ataupun shalat nafilah (sunnah), serta shalatnya dilakukan di tanah lapang ataupun dalam bangunan. Adapun makmum, tidak perlu memasang sutrah karena sutrah imam sekaligus merupakan sutrah makmum. Dalilnya:

1. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang telah lewat penyebutannya dalam edisi yang lalu (tentang shalat di Mina).

2. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْـحَربَةِ، فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ، وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan (pelayannya) untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan hal tersebut (menjadikan tombak sebagai sutrah) dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)

3. Hadits ‘Aun bin Abi Juhaifah, ia berkata:

سَمِعْتُ أَبِي أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم صَلَّى بِهِمْ بِالْبَطْحَاءِ –وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ– الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ، تَـمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ الـْمَرْأَةُ وَ الْـحِمَارُ

“Aku mendengar ayahku menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Zhuhur dua rakaat dan Ashar dua rakaat mengimami mereka di Bathha' –di hadapan beliau ada tombak- lewat di belakang sutrah beliau wanita dan keledai.” (HR. Al-Bukhari no. 495 dan Muslim no. 1120, 1122)

Hadits-hadits di atas dimasukkan dalam satu bab khusus oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya dengan judul “Sutratul Imam Sutratu Man Khalfahu” artinya sutrah imam juga menjadi sutrah orang yang shalat di belakangnya.

Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan,
“Aku tidak membenci adanya orang yang lewat di depan shaf makmum, sementara imam sedang memimpin shalat mereka, karena imam merupakan sutrah bagi mereka. Dan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah masuk masjid, lalu berjalan melintasi manusia di antara shaf-shaf orang yang shalat, sampai dia berdiri di tempat shalatnya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)

Al-Imam Syafi’i rahimahullahu mengatakan,
“Sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum. Oleh karena itu, melintasnya keledai di depan shalat makmum tidak memutuskan shalat.” (Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/716)

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa makmum tidak termudaratkan dengan orang yang lewat di hadapannya. Sebagaimana imam dan orang yang shalat sendiri tidak termudaratkan dengan apa yang lewat di belakang sutrahnya. (At-Tamhid, 5/32)

Sutrah di Ka'bah dan Masjidil Haram
Ketika seseorang shalat di Ka’bah atau Masjidil Haram, ia tetap harus memerhatikan masalah sutrahnya dan tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya. Adapun hadits yang menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, sementara tidak ada sutrah antara beliau dengan Ka’bah padahal manusia lalu lalang di depan beliau adalah hadits yang dhaif. Karena dalam sanadnya ada rawi yang majhul (tidak dikenal) bahkan mubham (tidak disebutkan namanya) antara Katsir ibnu Katsir ibni Muththalibi dengan kakeknya Muththalibi ibnu Abi Wada’ah. (Lihat Adh-Dha’ifah hadits no. 928)

Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan lewat di hadapan orang yang shalat di Masjid Makkah secara khusus. Sebagian lagi memutlakkannya. Akan tetapi pendalilan tersebut tidak bisa diterima dari beberapa sisi:

Pertama: Lemahnya hadits yang dijadikan sebagai dalil.

Kedua: Menyelisihi keumuman hadits-hadits yang mewajibkan orang yang shalat agar menghadap sutrah dan hadits-haditsnya ma’ruf. Demikian pula hadits yang melarang lewat di hadapan orang yang sedang shalat, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ يَعْلَمُ الـْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الـْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan memilih berhenti selama 401, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)

Ketiga: Hadits ini tidaklah secara tashrih (jelas) menunjukkan bahwa orang-orang lewat dalam jarak antara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tempat sujudnya.

Karena yang dimaksud larangan lewat di hadapan orang yang sedang shalat adalah lewat dalam jarak sujudnya. Demikian yang rajih dari pendapat ulama. Karena itulah Al-Imam As-Sindi rahimahullahu dalam Hasyiyah Sunan An-Nasa`i (2/67) mengatakan: “Hadits ini tidak bisa menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa di Makkah tidak membutuhkan sutrah.”

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul satu bab dalam kitab Shahih-nya, bab As-Sutrah bi Makkah wa Ghairiha, artinya “Sutrah itu di Makkah dan selainnya”. Lalu beliau membawakan hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْـهَاجِرَةِ فَصَلىَّ بِالْبَطْحَاءِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنَ، وَنَصَبَ بَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةً...

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di tengah hari, lalu beliau shalat Zhuhur dan Ashar dua rakaat di Bathha2 dan dipancangkan di hadapan beliau sebuah tombak yang pendek….” (HR. Al-Bukhari no. 501 dan Muslim no. 1122)

Al-Hafizh rahimahullahu menyatakan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu sengaja mengkhususkan penyebutan kota Makkah untuk menampik anggapan bahwa tidak perlu memakai sutrah di Makkah karena tidak ada sesuatu yang dapat memutus shalat yang dikerjakan di Makkah, berdalil dengan hadits yang dhaif (yang sedang menjadi pembicaraan kita di atas). Beliau hendak memberikan peringatan akan lemahnya hadits tersebut dan menyatakan tidak ada bedanya kota Makkah dan selainnya dalam pensyariatan sutrah. (Fathul Bari, 1/745)
Faedah

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata:

“Aku merasakan pengaruh hadits yang dhaif ini di Makkah tatkala aku berhaji pertama kali pada tahun 1369 Hijriyah. Aku masuk ke kota Makkah pada malam hari lalu thawaf sebanyak tujuh kali, kemudian aku mendatangi maqam Ibrahim lalu memulai shalat. Hampir-hampir aku baru memulai shalat namun aku telah dapati diriku terus menerus berupaya dengan sekuat tenaga mencegah orang yang lewat di antara aku dengan tempat sujudku. Hampir-hampir aku tidak berhenti mencegah seorang dari mereka dalam rangka mengamalkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga datang orang yang lain, aku pun menolaknya. Terus demikian! Salah seorang dari mereka yang aku tolak marah, ia berdiri di dekatku hingga aku selesai shalat. Kemudian ia menghadap kepadaku dengan mengingkari apa yang kulakukan.



Tatkala aku berargumen dengan hadits-hadits yang datang dalam masalah larangan melewati orang yang shalat dan perintah untuk mencegah orang yang lewat, ia menjawab bahwa Makkah dikecualikan dalam hal tersebut. Aku membantahnya hingga pertikaianku dengannya bertambah sengit. Aku mengajaknya bertanya kepada ahlul ilmi guna menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketika kami telah sampai di hadapan para ulama ternyata mereka berbeda pendapat. Sebagian mereka berargumen dengan hadits ini. Aku meminta kepada mereka penetapan keshahihan hadits tersebut namun mereka tidak mampu. Maka peristiwa itulah termasuk yang melatarbelakangi aku mentakhrij hadits tersebut (dalam kitab beliau Adh-Dha’ifah, pent.) dan keterangan tentang illat-nya (sebab cacatnya). Dan perhatikanlah apa yang aku sebutkan niscaya akan jelas bagimu bahayanya hadits-hadits dhaif dan pengaruhnya yang jelek terhadap umat ini.



Kemudian setelah itu aku mendapati beberapa atsar shahih tidak hanya dari satu sahabat bahkan lebih, yang menguatkan apa yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahihah. Atsar tersebut mencakup masalah lewat di depan orang yang shalat di Masjid Makkah. Beberapa atsar tersebut adalah:



1. Dari Shalih bin Kisan, ia berkata,

“Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma shalat di hadapan Ka’bah dan ia tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya.” Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Tarikh Dimasyq (91/1) dan Ibnu ‘Asakir (8/106/2) dengan sanad yang shahih.



2. Dari Yahya bin Abi Katsir, ia menyatakan,

“Aku melihat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu masuk ke Masjidil Haram, lalu ia menancapkan sesuatu atau menyiapkan sesuatu yang bisa digunakannya untuk shalat ke arahnya (sebagai sutrahnya).” Diriwayatkan Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat (7/18) dengan sanad shahih. (Lihat Adh-Dha’ifah ketika membicarakan hadits no. 928).

Wallahu a’lam.



Ukuran Sutrah

Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan,



“Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.”1 Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)



Demikian pula dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu bahwa dalam perkara ini tidak ada ketentuan yang paten sehingga diperkenankan bersutrah dengan sesuatu yang tebal/lebar ataupun yang tipis. (Al-Majmu’, 3/227)



Shalat Menghadap Wajah Manusia

Al-Mirdawi berkata,



“Dibenci seseorang shalat menghadap wajah manusia.” (Al-Masail Fiqhiyah 1/239). Demikian pula pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Majmu’, 3/230-231, Adz-Dzakhirah, 2/157).



Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan:



لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَإِنِّي لَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ، فَتَكُوْنُ لِي الْحَاجَةُ فَأَكْرَهُ أَنْ أَسْتَقْبِلَهُ فَأَنْسَلُّ انْسِلاَلاً .



“Sungguh aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan aku berada di antara beliau dengan kiblat dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur. Kemudian aku mempunyai keperluan, sementara aku tidak suka menghadap ke arah beliau, maka aku pun beringsut pelan-pelan.” (HR. Al-Bukhari no. 511)



Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila seseorang menghadapkan wajahnya kepada beliau sementara beliau sedang shalat. Kejadian ini terjadi di malam hari dan tidak ada penerangan di rumah-rumah pada waktu itu sebagaimana dinyatakan secara jelas dalam haditsnya yang lain. Sehingga dibencinya seorang yang shalat menghadap wajah manusia bukan semata-mata karena tersibukkannya orang yang shalat dari shalatnya disebabkan melihat pada orang yang di hadapannya, namun karena dalam hal ini ada keserupaan dengan peribadatan kepada makhluk. Maka perkara ini dibenci sebagaimana dibencinya shalat menghadap gambar yang terpancang. (Al-Mughni, Kitabush Shalat, fashl Ash-Shalatu Mustaqbilan Wajha Insan ilan Nar, Fathul Bari li Ibni Rajab, Kitabush Shalah, bab Istiqbalur Rajul Ar-Rajul wa Huwa Yusalli)



Sebagai kesimpulan, sebab dibencinya shalat menghadap wajah manusia ada dua:



Pertama, tersibukkannya hati orang yang shalat dari shalatnya, sebagaimana jika ia melihat pada sesuatu yang melalaikannya.

Kedua, keadaan ini menyerupai sujud atau peribadatan kepada orang yang berada di hadapannya.



Tidak Membiarkan Sesuatu Lewat di Depannya

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan sesuatu pun lewat antara dirinya dengan sutrahnya, hingga pernah suatu ketika:



كَانَ مَرَّةً يُصَلِّي، إِذْ جَاءَتْ شَاةٌ تَسْعَى بَيْنَ يَدَيْهِ، فَسَاعَاهَا حَتَّى أَلْزَقَ بَطْنَهُ بِالْحَائِطِ وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ



“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/122-123)



Pada kali lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



صَلَّى صَلاَةً مَكْتُوْبَةً فَضَمَّ يَدَهُ. فَلَمَّا صَلَّى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَحَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ أَنَّ الشَّيْطَانَ أَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيَّ، فَخَنَقْتُهُ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ لِسَانِهِ عَلَى يَدِي، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْلاَ مَا سَبَقَنِي إِلَيْهِ أَخِي سُلَيْمَانُ، لَأَرْتَبِطُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى يَطِيْفَ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ



Beliau shalat wajib, lalu beliau menggabungkan tangan beliau (mencekik). Tatkala selesai shalat, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah terjadi sesuatu dalam shalat tadi?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya saja setan hendak lewat di hadapanku, maka aku mencekiknya hingga aku dapati dinginnya lidahnya di atas tanganku. Demi Allah, seandainya saudaraku Sulaiman tidak mendahuluiku dalam penguasaan terhadap setan niscaya aku akan mengikat setan tersebut di salah satu tiang masjid hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak penduduk Madinah. Siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalangi antara dia dengan kiblatnya (dengan lewat di hadapannya, pent.) maka hendaklah ia lakukan.” (HR. Ad-Daraquthni 140, Ahmad 5/104-105, dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Berkata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih dengan syarat Muslim. Lafadz hadits ini dari Ad-Daraquthni. Dan tambahan:



فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَحُوْلَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْقِبْلَةِ أَحَدٌ فَلْيَفْعَلْ



dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang hasan dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/124)



Mencegah Orang yang Hendak Lewat

Hendaklah orang yang shalat menolak/mencegah apa pun yang lewat di depannya, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik manusia maupun hewan. (Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl Raddu Man Yamurru baina Yadail Mushalli)



Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ



“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)



Ibnul Arabi rahimahullahu menyatakan yang dimaksud dengan muqatalah dari lafadz: فَلْيُقَاتِلْهُ adalah menolak/mendorong bukan maknanya al-qatl (membunuh). (Al-Qabas fi Syarhi Muwaththa’ Malik, 1/344).



Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata,

“Kami memandang pernyataan mudafa’ah ini diinginkan dengannya penekanan untuk betul-betul mendorong orang yang lewat dan tentunya segala sesuatu ada batasnya.” (Al-Istidzkar 6/163)



Orang yang shalat mencegah orang yang hendak lewat pertama kali dengan cara yang halus, dengan menggunakan isyarat. Namun bila tetap memaksa ingin lewat, didorong lebih kuat dibandingkan dorongan sebelumnya. (Syarhus Sunnah 2/456, Subulus Salam, 1/230)



Bila hal itu sampai mengakibatkan kematian orang yang lewat tersebut tanpa kesengajaan orang yang shalat itu untuk membunuhnya, maka tidak ada tanggungan apa-apa dan tidak ada kewajiban yang dibebankan atas orang yang shalat tersebut2. (Al-Muhalla, 2/130, Al-Majmu’ 3/228, Fathul Bari, 1/754)



Ulama sepakat ia tidak boleh memerangi/melawan orang yang lewat tersebut dengan menggunakan senjata. (Al-Istidzkar 6/163, Subulus Salam 1/230, Nailul Authar, 3/8)



Untuk mencegah orang yang ingin lewat, ia tidak boleh sampai berjalan ke depannya, tapi ia hanya mencegah dalam batas yang bisa dijangkau oleh tangannya dari tempat berdirinya. (Fathul Bari, 1/754, Al-Minhaj 4/446,447)



Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)



Besarnya Dosa Lewat di Hadapan Orang Shalat

Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ، خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ



“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)



Hadits ini menunjukkan haramnya lewat di hadapan orang yang shalat dalam jarak yang dekat karena makna hadits ini adalah larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dari perbuatan demikian. Dengan begitu melewati orang yang shalat terhitung dosa besar. (Fathul Bari, 1/757)



Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu menyatakan adanya kesepakatan ahlul ilmi tentang dibencinya lewat di antara orang shalat dengan sutrahnya dan berdosa siapa yang melakukan perbuatan tersebut. (Maratibul Ijma’ hal 54 )



Dalam hadits di atas kita dapatkan keterangan bahwa dosa yang disebutkan dalam hadits di atas diberikan kepada orang yang tahu adanya larangan lewat di depan orang shalat tapi ia tetap lewat. Dzahir hadits ini juga menunjukkan bahwa ancaman yang disebutkan khusus bagi orang yang lewat, bukan orang yang hanya diam berdiri dengan sengaja di depan orang shalat atau duduk ataupun tidur, akan tetapi bila alasan pelarangan adalah karena mengganggu/mengacaukan konsentrasi orang yang shalat maka sekadar diam di depan orang shalat pun bisa masuk ke dalam makna melewati.



Faedah

Adapun tambahan lafadz مِنَ الْإِثْمِ dalam hadits yang didapatkan di sebagian kitab, di antaranya dalam Ahkam lil Bukhari oleh Al-Muhibb Ath-Thabari, ‘Umdatul Ahkam oleh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi, dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu, “Lafadz ini ghairu mahfuzh (tidak terjaga/tidak shahih).”



Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu menyebutkan bahwa tambahan lafadz ini dari riwayat Ats-Tsauri dari Salim Abun Nadhar, dan telah didapati pada kitab Ibnu Abi Syaibah riwayat Ats-Tsauri mudrajah (sisipan dari periwayat) dengan lafadz ini. Dengan demikian, keterangan yang ada menunjukkan lafadz tersebut mudrajah dari sebagian perkataan perawi dan merupakan tafsir dari makna (مَاذَا عَلَيْهِ). (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Al-Maarru baina yadail Mushalli)



Al-Imam Ibnu Shalah rahimahullahu berkata,

“Lafadz tersebut tidak disebutkan dalam hadits secara sharih (jelas).” (Fathul Bari, 1/756)



Faedah

Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62)



Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata,

“Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)





1 Dishahihkan hadits ini oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2783

2 Adapun Malikiyah dalam masalah qishash mereka berpandangan tidak dibebankan kepadanya, akan tetapi dalam masalah diyat mereka terbagi menjadi dua antara dibebankan dan tidaknya. (Al-Ikmal lil Qadhi Iyadh 2/419)



Lewat di Depan Makmum



Ada dua pendapat ahlul ilmu tentang hal ini.



Pendapat pertama: tidak boleh lewat di depan orang shalat, berdalilkan keumuman hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan sahabat beliau, Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah lalu. Mereka mengatakan hadits ini hukumnya bersifat umum sehingga makmum pun termasuk di dalamnya. Mereka beralasan bahwa lewat di depan imam dan orang yang shalat sendiri akan menyibukkan dan mengganggu shalat mereka. Demikian pula yang terjadi pada makmum. Namun terkadang bila sering orang lewat di hadapannya, si makmum akan merasa terpisah dari imamnya.



Pendapat kedua: tidak apa-apa lewat di depan makmum, berdalilkan perbuatan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang pernah lewat bersama keledai betinanya di hadapan sebagian makmum yang sedang shalat bershaf di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ada seorang pun yang mengingkari perbuatannya. Dengan begitu hadits ini merupakan pengkhususan hadits yang umum:



لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَا ذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ



“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui besarnya dosa yang ditanggungnya, niscaya ia akan memilih berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.”



Yang benar, orang yang lewat di hadapan makmum tersebut tidaklah berdosa. Namun bila ia mendapatkan jalan lain untuk lewat maka itu lebih utama, karena jelas lewatnya orang ini akan mengganggu orang yang sedang shalat, sementara menjaga diri agar tidak sampai mengganggu orang lain adalah perkara yang dituntut. Sebagaimana kita tidak suka terganggu oleh orang lain dalam shalat yang kita tegakkan, maka sepantasnya kita juga tidak mengganggu yang lainnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:



لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ



“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) [Asy-Syarhul Mumti’, 1/730]



Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu menyatakan, hadits ini khusus untuk imam dan orang yang shalat sendiri. Adapun makmum, maka tidaklah bermudarat baginya orang yang lewat di hadapannya. Sebagaimana orang yang lewat di belakang sutrah tidak bermudarat bagi imam dan orang yang shalat sendirian, karena sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum yang shalat di belakangnya. (Al-Istidzkar, 6/162)



Yang Memutuskan Shalat Seseorang

Bila orang yang shalat tidak ada sutrah di hadapannya maka shalatnya bisa terputus, apabila lewat di hadapannya keledai, wanita yang sudah baligh, dan anjing hitam. Inilah pendapat yang rajih –wallahu a’lam– berdasarkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَباَ ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ



“Apabila salah seorang dari kalian berdiri shalat maka akan menutupinya bila di hadapannya ada semisal mu’khiratur rahl. Namun bila tidak ada di hadapannya semisal mu’khiratur rahl shalatnya akan putus bila lewat di hadapannya keledai, wanita1, dan anjing hitam.” Aku berkata (Abdullah ibnush Shamit, rawi yang meriwayatkan dari Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar, ada apa dengan anjing hitam bila dibandingkan dengan anjing merah atau anjing kuning?” Abu Dzar menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku pernah menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau menanyakannya kepadaku. Beliau berkata, ‘Anjing hitam itu setan’.” (HR. Muslim no. 1137)



Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata,

“Hadits ini merupakan nash tentang terputus dan rusaknya shalat. Dan aku berhujjah dengannya.” (Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/713)



Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat seseorang bila lewat di hadapannya, dengan pendapat yang menyatakan wanita, keledai, dan anjing hitam dapat membatalkan shalat seseorang.



Jumhur ulama –termasuk di dalamnya imam yang tiga: Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i rahimahumullah– berpendapat bahwa lewat di depan orang yang shalat tidaklah membatalkan shalat walaupun yang lewat adalah wanita, keledai, atau anjing hitam. (Al-Muhalla 2/324, Tanqihut Tahqiq, 3/209, Adz-Dzakhirah, 2/159, Subulus Salam, 1/228)



Mereka berdalil dengan riwayat Abu Dawud (no. 719) dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



لاَ يَقْطَعُ الصَّلاَةَ شَيْءٌ، وَادْرَؤُوْا مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ



“Tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat dan tolaklah orang yang ingin lewat di hadapan kalian semampu kalian, karena dia (yang memaksa untuk lewat di depan orang shalat) adalah setan.”



Namun sanad hadits ini dhaif karena ada Mujalid bin Sa’id yang didhaifkan oleh jumhur ahlul hadits, Al-Hafizh rahimahullahu dalam Taqrib (hal. 453) berkata tentangnya: “Ia bukan dari kalangan orang yang kokoh, dan di pengujung usianya hafalannya berubah (kacau).”



Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam At-Tahqiq berkata,

“Semua hadits yang menyebutkan tentang tidak terputusnya shalat dengan sesuatu pun adalah dhaif. Adapun riwayat Abu Sa’id dalam sanadnya ada Mujalid. Dia ini didhaifkan oleh Yahya bin Ma’in, An-Nasa’i, Ad-Daraquthni. Ahmad berkata, “Laisa bi syai`in (tidak dianggap periwayatannya).” (At-Tahqiq, 3/215)



Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata,

“Mujalid layyin (lemah).” (Tanqihut Tahqiq, 3/213, Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/717).



Demikan juga yang dikatakan Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla (2/326).



Hadits lain yang dijadikan dalil adalah hadits tentang lewatnya Zainab bintu Abi Salamah radhiyallahu ‘anha di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak membatalkan shalat beliau. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (6/294) dan yang lainnya, namun pada sanad hadits ini juga ada kelemahan. Ibnul Qaththan mendhaifkannya, sebagaimana ucapannya disebutkan oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah (2/85).



Mereka yang berpendapat tidak ada sesuatu yang dapat membatalkan shalat ini membawa makna hadits:



فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ



“Maka sesungguhnya, keledai, wanita dan anjing hitam memutuskan shalatnya.”



kepada pengertian kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut, bukan pengertian batalnya shalat yang sedang ditunaikan. (Al-Minhaj 4/450-451, Subulus Salam, 1/228)



Adapun sebagian ulama lain berpandangan batalnya shalat dengan ketiga perkara tersebut sebagaimana dzahir hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Membawa makna hadits tersebut kepada makna kurang shalatnya (pahalanya) karena tersibukkannya hati dengan perkara-perkara tersebut atau hilang kekhusyukan shalatnya, merupakan pemaknaan yang tidak tepat. Karena pemaknaan seperti ini akan mengantarkan kepada pembatalan manthuq hadits, di mana perkara yang memutus kekhusyukan hanya dibatasi dengan bilangan tiga yang disebutkan. Sementara kalau kita memerhatikan makna yang disebutkan oleh jumhur, justru pembatasan bukanlah hal yang diinginkan, karena tidak ada bedanya yang lewat itu laki-laki ataupun perempuan. Tidak ada bedanya antara yang lewat itu wanita yang sudah haid ataupun belum. Demikian pula apakah yang lewat itu keledai, atau kuda, unta dan seterusnya. Sebagaimana tidak ada bedanya yang lewat itu anjing hitam atau anjing merah.



Sementara dalam hadits ini, penetap syariat membedakannya. Dengan demikian, pendapat yang benar adalah bahwa wanita yang sudah haid, keledai, dan anjing hitam membatalkan shalat, bukan sekadar menghilangkan kekhusyukan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/139-140)



Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata,

“Hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa anjing, wanita, dan keledai dapat memutus shalat, dan yang dimaksud memutus shalat adalah membatalkannya. Sekelompok sahabat berpendapat demikian. Di antaranya Abu Hurairah, Anas, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhum dalam satu riwayat darinya. Dihikayatkan pula dari Abu Dzar dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Telah datang kabar dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berpendapat demikian pada anjing. Sementara Al-Hakam bin ‘Amr Al-Ghifari berpendapat demikian pada keledai. Di antara tabi’in yang berpendapat bahwa tiga perkara yang disebutkan dalam hadits dapat memutuskan shalat adalah Al-Hasan Al-Bashri dan Abul Ahwash rahimahumallah, murid Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu. Dari kalangan imam adalah Ahmad bin Hambal rahimahullahu, sebagaimana penghikayatan Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu dalam Al-Muhalla. Sedangkan At-Tirmidzi rahimahullahu menghikayatkan dari Ahmad bahwa beliau hanya mengkhususkan anjing hitam. Sementara tentang keledai dan wanita, beliau tawaqquf (mendiamkan, tidak memberikan pendapat, apakah membatalkan ataukah tidak, pent.).” (Nailul Authar, 3/14)



Memang dalam masalah ini didapatkan dua riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Kedua riwayat tersebut bersepakat bahwa anjing hitam dapat memutuskan shalat seseorang, namun kedua riwayat ini berselisih dalam masalah wanita dan keledai. Dalam satu riwayat beliau memastikan bahwa wanita dan keledai tidak memutus shalat. Dalam riwayat lain, beliau ragu.



Riwayat yang pertama yaitu riwayat putra beliau bernama Abdullah dalam Masa`il-nya (1/340). Abdullah berkata, “Aku pernah bertanya kepada ayahku, ‘Apa saja yang dapat memutus shalat?’ Jawab beliau, ‘Anjing hitam, Anas radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwa yang dapat memutus shalat adalah anjing, wanita, dan keledai. Adapun tentang wanita, maka aku berpendapat dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:



كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيِهِ



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sementara aku tidur melintang di hadapannya.”



Sedangkan keledai dengan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:



مَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا عَلى أَتَانٍ



“Aku lewat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam2 sementara aku sedang menunggang seekor keledai betina.”

Aku juga bertanya, “Apabila lewat seekor anjing hitam di hadapan orang yang shalat, apakah shalatnya batal?” Beliau menjawab, “Iya.” Aku bertanya lagi, “Berarti ia harus mengulang shalatnya?” Jawab beliau “Iya, bila anjingnya berwarna hitam.”

Demikian pula Ibnu Hani meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad di dalam Masa`il-nya (1/65-67).



Riwayat kedua, merupakan riwayat Ishaq bin Manshur Al-Marwazi dalam Masa`il-nya (hal. 381) dari Al-Imam Ahmad dan Ishaq. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad, ‘Apa yang dapat membatalkan shalat?’ ‘Tidak ada yang dapat membatalkannya kecuali anjing hitam, yang aku tidak meragukannya. Adapun untuk keledai dan wanita dalam hatiku ada suatu keraguan’, jawab beliau. Ishaq berkata, ‘Tidak ada yang dapat memutus shalat kecuali anjing hitam.’



Ahmad berkata,

“Di antara manusia ada yang menyatakan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku tidur di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat)” bukanlah hujjah untuk membantah hadits tentang tiga perkara yang dapat membatalkan shalat. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat bahwa wanita, keledai, dan anjing hitam dapat memutus shalat. Alasannya, karena orang yang tidur tidaklah sama dengan orang yang lewat. Adapun ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang keledai yang ditungganginya melewati sebagian shaf makmum yang shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bukan hujjah, karena sutrah imam merupakan sutrah orang yang shalat di belakangnya. (Tanqihut Tahqiq, 3/208-209, Al-Masa`ilul Fiqhiyah allati lam Yakhtalif fiha Qaulul Imam Ahmad, 1/240)



Lewatnya Wanita di depan Wanita yang Shalat

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata,



“Lewatnya wanita di depan wanita yang shalat tidak memutuskan shalatnya. Adapun tentang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling akhir. Maka shalat mereka tidak akan terputus oleh sebagian mereka.” (Al-Muhalla, 2/320, 330)



Demikian pula yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazaq rahimahullahu dalam Al-Mushannaf (2/28 no. 2356) dari Ma’mar, dari Qatadah, beliau berkata, “Wanita tidak memutuskan shalat wanita yang lain.”



Ditanyakan pula pada Qatadah tentang anak perempuan yang belum haid, apakah memutuskan shalat. Beliau berkata, “Tidak.”



Lewatnya Wanita di sisi Kanan atau Kiri Seseorang Tidaklah Membatalkan Shalat

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu pernah shalat sementara ada wanita yang lewat di sisi kanan maupun kiri beliau, maka beliau memandang yang demikian itu tidak mengapa. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2949 dengan sanad yang shahih)



Mush’ab bin Sa’d mengatakan,

“Di arah kiblat Sa’d ada tabut3, sementara pembantu wanita beliau datang menunaikan keperluannya di sebelah kanan dan kiri beliau, dan tidak memutuskan shalat beliau.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2953 dengan sanad yang shahih)



‘Utsman bin Ghiyats berkata,

“Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan tentang wanita yang melewati laki-laki yang sedang shalat. Beliau mengatakan, tidak mengapa, kecuali bila wanita itu berdiri di depannya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 2954 dengan sanad yang shahih)



Wanita di Samping Laki-laki yang sedang Shalat, Tidak Membatalkan Shalatnya

Maimunah radhiyallahu ‘anha berkata:



كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا إِلَى جَنْبِهِ نَائِمَةً، فَإِذَا سَجَدَ أَصَابَنِي ثَوْبُهُ وَأَنَا حَائِضٌ



“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dan aku tidur di samping beliau. Apabila beliau sujud, pakaian beliau mengenaiku, sementara waktu itu aku sedang haid.” (HR. Al-Bukhari no. 518)



Wanita yang Berbaring Melintang di Hadapan Seorang yang Shalat Tidaklah Membatalkan Shalatnya

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan:



أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ كَاعْتِرَاضِ الْجَنَازَةِ



“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat malam, sementara aku melintang di antara beliau dengan kiblat, seperti melintangnya jenazah.” (HR. Muslim no. 512)



Faedah Sutrah

Sebagai penutup, kita bawakan beberapa faedah atau manfaat sutrah yang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama. Di antaranya:

Shalat dengan memakai sutrah berarti menjalankan dan menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara menghidupkan As-Sunnah dan mengikutinya adalah jalan yang lurus.

Sutrah menjaga shalat dari hal-hal yang dapat memutuskannya.

Sutrah akan menutupi pandangan mata orang yang shalat dari apa yang ada di sekitarnya, karena pandangan matanya terbatas pada sutrahnya. Dengan terbatasnya pandangan berarti membatasi pikiran-pikiran yang dapat mengganggu kekhusyukan di dalam shalat.

Orang yang memakai sutrah berarti memberi tempat berlalu bagi orang-orang yang ingin lewat, sehingga mereka tidak harus berhenti menunggu selesainya orang yang shalat tersebut.

Dengan adanya sutrah, orang yang ingin lewat bisa melewati daerah bagian belakang sutrah.

Sutrah akan menjaga orang yang lewat dari berbuat dosa.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.





1 As-Sindi rahimahullahu berkata, “Dimungkinkan wanita yang dimaksudkan dalam hadits adalah yang telah mencapai usia haid, yaitu telah baligh. Berdasarkan hal ini perempuan yang masih kecil tidaklah memutuskan shalat seseorang. Wallahu a’lam.” (Hasyiyah As-Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/303)

2 Maksudnya lewat pada sebagian shaf makmum di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam dalam shalat tersebut.

3 Semacam kotak atau peti untuk menyimpan barang-barang.



اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.

“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.”





Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.

Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.

Sumber :

Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

Islam Kaffah

Kesalahan Orang-orang yang Shalat dalam Menghadap ke Sutrah

Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((لاَ تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن))
"Janganlah kalian shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorangpun lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."[1]




Dari Abu Sa'id al-Khudri -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ))
"Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau membunuhnya, karena sesungguhnya dia itu syetan."[2]
Dalam satu riwayat: "Maka sesungguhnya syetan melewati antara dia dengan sutrah." Dari Sahl bin Abu Hitsmah -radhiyallahu 'anhu-: Dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ))
"Jika salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya, sehingga syetan tidak memutus atas shalatnya."[3]
Dalam satu riwayat:
((إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ، وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ))
"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia memakai sutrah dan mendekatinya, karena sesungguhnya syetan akan lewat di hadapannya."[4]
Asy-Syaukani berkata sebagai komentar atas hadits Abu Sa'id yang lalu: "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa membuat sutrah dalam shalat adalah wajib."[5]
Dia (asy-Syaukani) berkata: "Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati suatu dalil yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda beliau -shallallahu 'alaihi wasallam-:
"Maka sesungguhnya sesuatu yang lewat di hadapannya tidak membahayakannya." Karena seseorang yang shalat itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menjauhi sesuatu yang bisa menghilangkan sebagian pahalanya.[6]
Di antara hal yang menguatkan wajibnya membuat sutrah:
"Sesungguhnya sutrah itu sebab yang syar'i, yang dengannya shalat seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita yang baligh, keledai atau anjing hitam, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang yang lewat di hadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[7]
Oleh karena itu, salafus shalih -semoga Allah meridhai mereka- sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Sehingga datanglah perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan, bahwa mereka sangat gigih dalam mendorong menegakkan sutrah dan memerintahkannya serta mengingkari orang yang shalat yang tidak menghadap kepada sutrah, sebagaimana yang akan engkau lihat.
Dari Qurrah bin 'Iyas, dia berkata: "'Umar telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang, maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya.""[8]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Dengan itu 'Umar menginginkan agar dia shalat menghadap ke sutrah."[9]
Dari Ibnu 'Umar, dia berkata: "Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia shalat menghadap ke sutrah dan mendekatinya, supaya syetan tidak lewat di depannya."[10]
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat perkara dari perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap ke sutrah... atau dia mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[11]
Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintah-perintah itu datang dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan."[12]
Dari Anas, dia berkata: "Sesungguhnya saya melihat sahabat-sahabat Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang di saat shalat Maghrib, sampai Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- keluar."[13]
Dalam satu riwayat: "Dalam keadaan seperti itu, mereka shalat dua rakaat sebelum Maghrib."[14]
Anas menceritakan keadaan para sahabat dalam waktu yang sempit itu, bagaimana mereka bergegas-gegas menuju ke tiang-tiang untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Dari Nafi', dia berkata: "Bahwasanya Ibnu 'Umar jika tidak mendapati jalan menuju ke salah satu tiang dari tiang-tiang masjid, dia berkata kepadaku: "Palingkan punggungmu untukku."[15]
Dan dari dia (Nafi') juga, dia berkata: "Bahwa Ibnu 'Umar tidak shalat, kecuali menghadap ke sutrah."[16]
Salamah bin al-Akwa` menegakkan batu-batu di tanah, ketika dia hendak shalat, dia menghadap kepadanya.[17]
Dalam atsar ini: Tidak ada bedanya antara di tanah lapang maupun di dalam bangunan. Dhahir hadits-hadits yang lalu serta perbuatan Nabi menguatkan yang demikian itu, sebagaimana yang telah ditetapkan asy-Syaukani atas hal tersebut.[18]
Al-Allamah as-Safarini berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang shalat disunnahkan membuat sutrah berdasarkan kesepakatan para ulama. Meskipun dia tidak khawatir adanya orang yang melewatinya. Ini menyelisihi al-Malik. Dalam al-Waadhih: wajib dari tembok atau sesuatu yang dapat jadi penghalang (sutrah) tersebut dan luasnya sutrah itu mengherankan al- Imam Ahmad.[19] Pemutlakan tersebut sangat tepat, karena penjelasan alasannya hanya bersandar dengan ra'yu (pikiran) semata, tidak ada dalil padanya dan di dalamnya terdapat pengguguran hanya dengan ra'yu terhadap nash-nash yang mewajibkan untuk membuat sutrah sebagiannya telah disebutkan sebelumnya. Dan ini tidak dibolehkan, khususnya jika yang lewat itu dari jenis yang tidak bisa dilihat oleh manusia yaitu syetan. Sesungguhnya telah datang kabar yang terang dari perkataan dan perbuatan (Nabi) -shallallahu 'alaihi wasallam-."[20]
Ibnu Khuzaimah, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang memerintahkan membuat sutrah, dia berkata:
"Kabar-kabar ini semua shahih, sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- telah memerintahkan kepada orang yang shalat agar membuat sutrah di dalam shalatnya."
Abdul Karim menduga, setelah mendapatkan kabar dari Mujahid dari Ibnu 'Abbas:
"Sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- pernah shalat tidak menghadap ke sutrah, ketika beliau berada di tanah lapang,[21] karena Arafat di jaman Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak ada bangunan yang tegak yang dengannya beliau bisa membuat sutrah dalam shalatnya!! Padahal sesungguhnya beliau telah melarang seseorang melakukan shalat, kecuali menghadap ke sutrah. Maka bagaimana beliau melakukan sesuatu yang beliau sendiri melarangnya?!"[22]
Saya (penulis) berkata: Tidak adanya bangunan tidaklah menghalangi dari membuat sutrah. Karena telah ada penjelasan yang demikian itu dalam hadits Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma-.
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Dia telah shalat bersama manusia di Mina menghadap ke selain tembok."[23]
Dan terdapat riwayat yang shahih dari jalan lain, sesungguhnya dia berkata: "Saya menancapkan tombak kecil di hadapan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ketika di Arafat dan beliau shalat ke arahnya dan keledai ada di belakang tombak kecil itu."[24]
Ibnu at-Tirkamani berkata: "Saya katakan bahwa: "Tidak adanya dinding tidak mengharuskan meniadakan sutrah. Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat Malik tersebut yang menunjukkan, bahwa beliau shalat tidak menghadap ke sutrah."[25]
Setelah beberapa uraian di atas, maka kami (penulis) berkata: Nyatalah bagi kami dengan jelas, bahwa:
1. Kesalahan orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari lalu-lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang
Tidak ada bedanya antara di kota Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak.[26]
2. Sebagian ulama menyunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat[27]
Yang demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.[28]
3. Ukuran sutrah yang mencukupi bagi orang yang shalat, sehingga dia bisa menolak bahayanya orang yang lewat, adalah setinggi pelana
Sedangkan orang yang mencukupkan sutrah yang kurang dari ukuran itu dalam waktu yang longgar tidak diperbolehkan.
Dan dalilnya dari Thalhah, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ))
"Jika salah seorang dari kalian telah meletakkan tiang setinggi pelana di hadapannya, maka hendaklah ia shalat dan janganlah ia memperdulikan orang yang ada di belakangnya."[29]
Dari 'A`isyah -radhiyallahu 'anha-, dia berkata: "Pada waktu perang Tabuk Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- ditanya tentang sutrahnya orang yang shalat, maka beliau menjawab: "Tiang setinggi pelana.""[30]
Dan dari Abu Dzar, dia berkata: Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَدِ))
"Jika salah seorang dari kalian berdiri melakukan shalat, maka sesungguhnya dia telah tertutupi jika di hadapannya ada tiang setinggi pelana. Jika tidak ada tiang setinggi pelana di hadapannya, maka shalatnya akan diputus oleh keledai atau perempuan atau anjing hitam."[31]
Para ulama berpendapat, bahwa mengakhirkan penjelasan di waktu yang dibutuhkan itu tidak boleh. Dan sesungguhnya Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- hanya ditanya tentang sutrah yang mencukupi, maka seandainya kurang dari (ukuran) itu mencukupi, tentu tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan.[32]
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'.[33] Sehasta adalah ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah.[34] Dan ukurannya kurang lebih: 46,2 cm.[35]
Telah tetap, bahwa Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- shalat menghadap ke tombak kecil dan lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya tempat dan ini menguatkan, bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tersebut, bahwa sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Di antaranya terdapat riwayat dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, bahwa beliau menancapkan tombak kecil untuknya, lalu beliau shalat menghadap kepadanya. Padahal lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."[36]
Dia berkata juga: "Perintah Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- membuat sutrah (pembatas) dengan anak panah di dalam shalat, maka hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau - shallallahu 'alaihi wasallam- menginginkan dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana, bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."[37]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin al-Akwa` -radhiyallahu 'anhu-.
Dan yang sangat pantas disebutkan adalah: Hadits tentang menjadikan garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah, asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad- Daruquthni berkata: "Tidak sah dan tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[38]
Setelah ini maka dikatakan:
4. Dalam shalat berjama'ah, makmum itu tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat berjama'ah itu terletak pada sutrahnya imam
Janganlah seseorang beranggapan, bahwa setiap orang yang shalat (dalam shalat berjama'ah) sutrahnya itu adalah orang yang shalat yang ada di depannya. Sesungguhnya hal itu tidak ada pada shaf yang pertama, sehingga dengan demikian mengharuskan melakukan pencegahan terhadap orang yang lewat di hadapannya. Sedangkan dalil yang ada menyelisihi hal tersebut, yaitu:
Dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Saya dan Fudhail datang dengan mengendarai keledai betina dan Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berada di Arafah. Maka kami melewati sebagian shaf, kemudian kami turun dan kami tinggalkan keledai itu merumput. Lalu kami masuk shalat bersama Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-. Setelah itu beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak berkata sepatah kata pun kepada kami."[39]
Dalam satu riwayat: "Sesungguhnya keledai betina itu melewati di depan sebagian shaf yang pertama."[40]
Ketika Ibnu 'Abbas dan Fudhail di atas keledai betina lewat di depan shaf yang pertama, tidak ada satupun sahabat yang menolak keduanya dan keledai betina itupun juga tidak ditolak, kemudian tidak ada seseorang yang mengingkari mereka atas perbuatannya tersebut, demikian pula Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam-.
Jika ada seseorang yang berkata: "Mungkin Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak mengetahui yang demikian itu!!"
Maka dikatakan kepadanya: "Jika Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam- tidak melihat kepada keduanya dari sampingnya, maka beliau melihat keduanya dari belakangnya. Sesungguhnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda:
((هَلْ تَرَوْنَ قِبْلَتِي هَا هُنَا، فَوَاللهِ لاَ يَخْفَى عَلَيَّ خُشُوْعَكُمْ وَلاَ رُكُوْعَكُمْ، فَإِنِّي لأَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))
"Apakah kalian melihat kiblatku di sini, demi Allah kekhusyu'an dan ruku' kalian tidak ada yang tersembunyi bagiku. Sesungguhnya saya melihat kalian dari belakang punggungku."[41]
Ibnu Abdil Bar berkata: "Hadits Ibnu 'Abbas ini memberi kekhususan kepada hadits Abu Sa'id: "Jika ada salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang melewati di depannya," yang demikian itu khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Adapun untuk makmum, orang yang lewat di depannya tidak membahayakannya, berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas ini."
Selanjutnya dia (Ibnu Abdil Bar) berkata: "Tidak ada perselisihan di antara para ulama terhadap perkara ini."[42]
Dari sini bisa diketahui: "Sesungguhnya shalat berjama'ah adalah seseorang shalat dengan beberapa orang, bukannya shalat dengan jumlah orang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu shalat jama'ah tersebut cukup dengan satu sutrah. Kalau shalat berjama'ah itu pengertiannya beberapa shalat, tentunya setiap orang yang ada di dalamnya butuh sutrah."[43]
5. Jika seorang Imam tidak membuat sutrah, maka sesungguhnya dia telah menjelekkan shalatnya dan sikap meremehkan itu hanya dari dia
Sedangkan bagi setiap makmum tidaklah wajib membuat sutrah untuk dirinya dan (tidak wajib) menahan orang yang melewatinya.[44]
6. Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."[45]
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa. Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shafnya kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini, karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik tersebut."[46]
Inilah yang dikatakan oleh al-Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusydi, yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang melewati depannya."[47]


Sumber: Koreksi atas Kekeliruan Praktek Ibadah Shalat, hlm. 75-88.
Maktabah Salafy Press, cetakan pertama, Dzulqa'idah 1423 H.




________________________________________
[1] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih.
[2] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.
[3] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279), Ahmad di dalam al- Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379), al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695), an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no. (803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/ 119), al- Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul Kubra (2/ 272) dan hadits tersebut shahih.
[4] Ini lafadz Ibnu Khuzaimah.
[5] Nailul Authar (3/ 2).
[6] As-Sailul Jarraar (1/ 176).
[7] Tamamul Minnah (hlm. 300).
[8] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/ 577-dengan al-Fath) secara ta'liq dengan Shighah Jazm dan di-washalkannya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/ 370).
[9] Fathul Baari (1/ 577)
[10] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/ 279) dengan sanad yang shahih.
[11] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (2/ 61), al-Baihaqi dalam as- Sunanul Kubra (2/ 285) dan dia shahih.
[12] Ahkamus Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 13-14), Penerbit Daar Ibnul Qayyim Dammam.
[13] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (503).
[14] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (625).
[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 279), dengan sanad shahih.
[16] Telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (2/ 9) dan dalam sanadnya ada kelemahan dan didukung oleh sebelumnya.
[17] Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (1/ 278).
[18] Nailul Authar (3/ 6).
[19] Syarah Tsulatsiyaat al-Musnad (2/ 786).
[20] Tamamul Minnah (hlm. 304).
[21] Riwayat haditsnya dha'if (lemah), sebagaimana telah diperingatkan atasnya oleh al-Albani - rahimahullah- di dalam Tamamul Minnah (hlm. 305) dan beliau berkata: "Riwayat itu telah dikeluarkan dalam kitabku: al-Ahadits adh-Dha'ifah, no. (5814) bersama hadits-hadits yang lain dengan maknanya."
[22] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 27-28).
[23] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam ash-Shahih no. (76)(493)(861)(1857)(4412), Ahmad dalam al-Musnad (1/ 342), Malik dalam al-Muwaththa' (1/ 131) dan selain mereka.
[24] Telah dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad (1/ 243), Ibnu Khuzaimah dalam ash- Shahih (840), ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir (11/ 243) dan sanadnya Ahmad hasan.
[25] Al-Jauharun-Naqi (2/ 273). Dan lihat bantahan yang lain dalam: Ahkamu as-Sutrah (hlm. 88 dan setelahnya).
[26] Lihat sandaran orang yang mengatakan, bahwa di Mekkah tidak ada sutrah, bahwasanya dibolehkan –di sana- berjalan melewati di hadapan orang-orang yang sedang shalat dan bantahan akan pernyataan ini terdapat dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal-Maudhu'ah, no. (928) dan kitab Ahkam as-Sutrah fi Makkah wa Ghairiha (hlm. 46-48)(120-126) dan mengaitkan orang yang lewat di depan orang yang shalat dengan keadaan darurat merupakan perkara yang sifatnya sebagai alternatif, khususnya ketika berada di dalam keadaan yang sangat berdesak- desakan. Telah berkata tentangnya al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath (1/ 576) dan az-Zarqani dalam Syarahnya atas Mukhtashar Khalil (1/ 209). Wallahu A'lam.
[27] Lihat, misalnya di dalam: Zaadul Ma'aad (1/ 305).
[28] Ahkam as-Sutrah (hlm. 450).
[29] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (499).
[30] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (500).
[31] Telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya no. (510).
[32] Ahkam as-Sutrah (hlm 29).
[33] Lihat: Mushannaf Abdurrazzaq (2/ 9, 14, 15), Shahih Ibnu Khuzaimah no. (807), Sunan Abu Dawud no. (686).
[34] Lisanul 'Arab (3/ 1495).
[35] Mu'jam Lughatul Fuqahaa' (hlm. 450-451).
[36] Shahih Ibnu Khuzaimah (2/ 12).
[37] Rujukan yang lalu.
[38] Lihat: Tamamul Minnah (hlm. 300-302), Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad bin Harits).
[39] Telah dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. (504).
[40] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (1857).
[41] Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. (418), (471) dan pembicaraan yang lalu dari Ahkam as-Sutrah (hlm. 22).
[42] Fathul Baari (1/ 572).
[43] Faidhul Qadir (2/ 77).
[44] Lihat: Ahkam as-Sutrah (hlm. 21-22).
[45] Syarah az-Zarqaani 'ala Mukhtashar Khalil (1/ 208).
[46] Fatawa Ibnu Rusyd (2/ 904).
[47] Ahkam as-Sutrah (hlm. 26-27).

Sumber :
Abu 'Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Salman
Islam Kaffah
SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN SUTRAH ATAU PEMBATAS

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Apabila ada yang shalat diantara kalian maka sholatlah dengan menggunakan pembatasr dan hendaklah dia mendekati pembatas tersebut, janganlah membiarkan seorangpun lewat antara dirinya dan pembatas tersebut" [1]

Ini merupakan dalil/nash yang umum tentang sunnahnya mengambil sutrah ketika sholat baik di masjid maupun di rumah. Sutrah berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Ada sebagian orang-orang yang mengerjakan sholat telah melarang dirinya dari sunnah (menggunakan sutrah) tersebut sehingga dijumpai ketika sholat, mereka tidak menggunakan sutrah.

Sunnah ini berulang kali berlaku bagi seorang muslim dalam kesehariannya. Hal (menggunakan sutrah) itu berlaku juga pada sunnah-sunnah yang Rawatib, pada Sholat Dhuha, Tahiyatul Masjid, Sholat Witir, dan sunnah tersebut juga berlaku bagi seorang perempuan yang sholat sendirian di rumahnya. Sedangkan ketika sholat berjamaah maka yang menjadi penghalang/tabir bagi para makmum adalah imam sholat.

Permasalahan-Permasalahan Seputar Sutrah

[a]. Sutrah ketika sholat dapat menggunakan apa-apa yang berada di arah kiblat seperti tembok, tongkat, atau tiang dan tidak ada pembatasan tentang bentangan/lebar sutrah.

[b]. Tinggi sutrah kira-kira setingggi mu'akhiraturr [2], yaitu yang ukurannya kira-kira satu jengkal tangan.

[c]. Jarak antara kedua kaki dan sutrah adalah kira-kira tiga hasta (siku sampai ujung jari tengah) dan diantara dia dengan sutrah masih ada tempat (ruang) untuk melakukan sujud.

[d]. Sesungguhnya sutrah (tabir penghalang) disyariatkan bagi imam dan orang-orang yang sholat secara munfarid (sendiri) baik sholat wajib lima waktu maupun shalat sunnat

[e]. Sutrah makmum mengikuti sutrah imam, maka diperbolehkan melewati makmum apabila ada hajat (kepentingan).

Faedah Menerapkan Sunnah Ini

[a]. Sesungguhnya sunnah tersebut (dengan menggunakan sutrah ketika sholat) menjaga sholat agar tidak terputus yang disebabkan oleh lalu lalangnya siapa saja yang bisa memutuskan/membatalkan sholat (yaitu perempuan, keledai, dan anjing yang hitam) atau mengurangi pahalanya.

[b]. Mencegah pandangan dari melihat orang-orang yang lalu lalang karena orang yang memakai sutrah secara umum pandangannya ke arah sutrah dan pikirannya terkonsentrasi pada makna-makna bacaan sholat.

[c]. Orang yang sholat memakai sutrah telah memberikan kesempatan bagi orang yang berlalu-lalang maka tidak perlu menjauhkan orang-orang yang berlalu lalang di depannya.

[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat. Abu Dawud no. 697 dan 698. Ibnu Majah no. 954 dan Ibnu Khuzaimah 1/93/1. [Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Al-Albany hal. 82.]
[2]. Sandaran pada bagian belakang pelana kuda yang ukurannya kira-kira dua pertiga dziraa' (1 dziraa'= sepanjang siku-siku tangan sampai ujung jari tengah) [Lisaanul arab III/1495]

Sumber :
Syaikh Khalid al Husainan

Islam Kaffah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar