KUPAS TUNTAS DI BULAN RAJAB
Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Shalat Dan Puasa Di Bulan Rajab
Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu.
Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepe-kan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.
Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَخُصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِيْ، وَلاَ تَخُصُّوْا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اْلأَياَّمِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ.
"Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya.”
HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 980).
Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan se-bagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan ter-kabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah di-utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila diban-dingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar.
Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab.
Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.
HADITS PERTAMA
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ.
“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.”
Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129).
Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:
لاَ تَغْفُلُوْا عَنْ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ فَإِنَّهَا لَيْلَةٌ تُسَمِّيْهَا الْمَلاَئِكَةُ الرَّغَائِبَ...
“Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at
pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaa-ib...”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini di-riwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid ath-Thawil dari Anas, secara marfu’.
Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169).
Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.”
Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy.
Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”
Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879).
HADITS KEDUA
فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبَانَ كَفَضْلِي عَلىَ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى سَائِرِ العِبَادِ.
“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur-an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.”
Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H).
HADITS KETIGA:
مَنْ صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.
“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).”
Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).
HADITS KEEMPAT
مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرَّةٍِ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَ فِي الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ مِائَةَ مَرَّةٍِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati).
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.”
Al-Maudhu’at (II/123-124).
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah.
Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518).
HADITS KELIMA
مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ.
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”
Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ جِدًّا) SANGAT LEMAH
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.
Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk.
Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290).
Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.”
Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).
HADITS KEENAM
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْراً يُقَالُ لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضاً مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ، مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْماً وَاحِداً سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ.
“Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.”
Keterangan: HADITS INI (بَاطِلٌ) BATHIL
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mende-ngar Anas bin Malik berkata, ...”
Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.”
Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.”
Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898).
HADITS KETUJUH
مَنْ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ شَهْرٍ وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ أَغْلَقَ اللهُ عَنْهُ سَبْعَةَ أَبْوَابٍ مِنَ النَّارِ وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ فَتَحَ اللهُ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ نِصْفَ رَجَبَ حَاسَبَهُ اللهُ حِسَاباً يَسِيْراً.
“Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barangsiapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”
Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:
1. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.”
Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353).
2. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.”
Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142).
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari
Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.”
Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).
Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa-ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja.
Penjelasan Para Ulama Tentang Masalah Rajab
1. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa-ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul.
Lihat al-Maudhu’at (II/123-126).
2. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.”
Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140).
Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khiidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.”
Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141).
3. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagai-mana kata Imam Ibnu Rajab.”
Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157).
4. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa-ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bid’ah.... Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam...”
Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa-ib a- dalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka.
Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini... Wallahu a’lam.”
Lihat Majmu’ Fataawa (XXIII/132, 134).
5. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Semua hadits tentang shalat Raghaa-ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang di-ada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.”
Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah.
6. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab:
“Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan ten-tang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.”
7. Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa-ib adalah hadits maudhu’ (palsu).
Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202).
8. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Se-sungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381).
9. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tanggal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk mera-yakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang khusus dibaca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.”
Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143).
10. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengada-kan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti diketahui dan masyhur, dan ten-tunya akan disampaikan oleh para Shahabat kepada kita...
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna.
Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah, ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maa-idah: 3)
KHATIMAH
Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengar-kan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ.
“Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.”
HSR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51).
Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu, maka mereka digolongkan sebagai pendusta.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ سَمْرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ حَدِيْثاً وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ.
Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.”
HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39).
Sumber :
1. Shahih al-Bukhari.
2. Shahih Muslim.
3. Sunan an-Nasaa-i.
4. Sunan Ibni Majah.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Shahih Ibni Hibban.
7. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
8. Maudhu’atush Shaghani.
9. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
10. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
11. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
12. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
13. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
14. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
15. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
16. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
17. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
18. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
19. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
20. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
21. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
22. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khiidhir.
23. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
24. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
25. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
26. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
27. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly, tahqiq: Abdul Fattah Abu Ghuddah.
28. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
29. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[Sumber : Kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
_________
Catatan Kaki :
[1]. Zaadul Ma’aad (I/375) cet. Muassasah ar-Risalah.
Sumber :
Islam Kaffah
Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.
Hak Cipta...!
Hak Cipta Hanyalah Milik Allah Semata. Sobat Muslimin Berhak Memanfaatkan Semua Catatan Islam Kaffah Ini untuk Tujuan Kemaslahatan Kaum Muslimin Tanpa Maksud Kormersial dan mencantumkan semua sumbernya tanpa diedit.
Jika sobat menyalahin peraturan ini siap dituntut secara hukum.
Puasa Rajab
Jika ada pertanyaan : Apakah terlarang berpuasa di bulan Rajab ?.
Jawabannya : Tidak. Tidak ada dalil yang melarang seseorang berpuasa di bulan Rajab[1], sebagaimana juga tidak ada dalil untuk melarang berpuasa di bulan lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat senang berpuasa pada bulan-bulan hijriyah, tidak terkecuali di bulan Rajab.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا عبدالله بن نمير. ح وحدثنا ابن نمير. حدثنا أبي. حدثنا عثمان بن حكيم الأنصاري. قال: سألت سعيد بن جبير عن صوم رجب ؟ ونحن يومئذ في رجب. فقال: سمعت ابن عباس رضي الله عنها يقول: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول: لا يفطر. ويفطر حتى نقول: لا يصوم.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim Al-Anshaariy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang puasa Rajab dimana kami waktu itu berada di bulan Rajab. Ia (Sa’iid) menjawab : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpuasa hingga kami berkata : ‘beliau tidak pernah berbuka’. Dan beliau pun pernah berbuka hingga kami berkata : ‘beliau tidak pernah berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1157].[2]
Apakah hadits di atas menunjukkan pengkhususan puasa di bulan Rajab dengan keutamaannya ?.
Jawabannya : Tidak. Sifat puasa yang diceritakan oleh Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu bukanlah sifat puasa yang ia lihat khusus di bulan Rajab saja, namun juga sifat puasa yang ia secara umum pada diri beliau di luar bulan Ramadlan. Maksudnya, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkadang banyak berpuasa pada satu bulan, terkadang pula meninggalkannya.
Kebetulan, ‘Utsmaan bin Hakiim bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang berpuasa di bulan Rajab, dan kemudian ia jawab dengan jawaban umum tentang sifat puasa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di luar bulan Ramadlan.
Perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلًا قَطُّ غَيْرَ رَمَضَانَ وَيَصُومُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى يَقُولَ الْقَائِلُ لَا وَاللَّهِ لَا يَصُومُ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Abu Bisyr, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa selama sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan. Dan beliau seseorang yang rajin puasa sehingga sehingga ada yang berkata : ‘Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berbuka”. Namun beliau pun berbuka hingga ada yang berkata : ‘Tidak, demi Allah, beliau tidak berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1971].
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ مِنْ الشَّهْرِ حَتَّى نَظُنَّ أَنْ لَا يَصُومَ مِنْهُ وَيَصُومُ حَتَّى نَظُنَّ أَنْ لَا يُفْطِرَ مِنْهُ شَيْئًا وَكَانَ لَا تَشَاءُ تَرَاهُ مِنْ اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْتَهُ وَلَا نَائِمًا إِلَّا رَأَيْتَهُ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far, dari Humaid : Bahwasannya ia pernah mendengar Anas radliyallaahu ‘anhu berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berbuka selama satu bulan hingga kami menduganya beliau tidak pernah berpuasa selama itu. Dan apabila berpuasa, seakan-akan beliau terus menerus berpuasa hingga kami menduganya beliau tidak pernah berbuka sama sekali dalam bulan itu. Dan jika engkau hendak melihat beliau pada suatu malam dalam keadaan shalat, niscaya engkau akan melihatnya. Sebaliknya, jika engkau ingin melihat beliau dalam posisi tertidur, melainkan engkau kalian akan melihatnya juga" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1972].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abun-Nadlr Maulaa ‘Umar bin ‘Ubaidillah, dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya ia berkata : “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam senantiasa berpuasa hingga kami mengatakan : ‘beliau tidak pernah berbuka’. Dan beliau senantiasa berbuka hingga kami mengatakan : ‘beliau tidak berpuasa’. Dan tidaklah aku melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan, dan tidaklah aku melihat beliau dalam satu bulan lebih banyak melakukan berpuasa daripada bulan Sya'ban” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2434; shahih].[3]
Oleh karena itu, pelaksanaan puasa di bulan Rajab adalah pelaksanaan puasa sunnah secara mutlak. Tidak ada hadits shahih yang menjadi dasar untuk mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
لم يرد في رجب على الخصوص سنة صحيحية ولا حسنة ولا ضعيفة ضعفا خفيفا بل جميع ما روى فيه على الخصوص أما موضوع مكذوب أو ضعيف شديد الضعف
“Tidak ada keutamaan (puasa) Rajab secara khusus dari hadits-hadits shahih, hasan, ataupun lemah (dla’if) dengan kelemahan yang ringan. Bahkan, seluruh hadits yang diriwayatkan tentang pengkhususan (puasa Rajab) adalah palsu lagi dusta atau lemah dengan kelemahan yang sangat parah” [As-Sailul-Jaraar, 1/297; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Jika ada yang sengaja berpuasa sunnah secara khusus di Rajab, maka salaf membencinya.
حدثنا أبو معاوية عن الاعمش عن وبرة بن عبد الرحمن عن خرشة بن الحر قال رأيت عمر يضرب أكف الناس في رجب حتى يضعوها في الجفان ويقول كلوا فإنما هو شهر كان يعظمه أهل الجاهلية
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Wabarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari Kharasyah bin Al-Hurr, ia berkata : Aku pernah melihat ‘Umar memukul telapak tangan orang-orang di bulan Rajab hingga ia meletakkannya di mangkok besar (makanan). ‘Umar berkata : “Makanlah, karena ia (Rajab) adalah bulan yang dulu diagungkan orang-orang Jaahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/102; shahih li-ghairihi].[4]
حدثنا وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Aashim bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : “Adalah Ibnu ‘Umar apabila ia melihat orang-orang dan apa-apa yang mereka khususkan pada bulan Rajab, maka ia membencinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/102; ].[5]
Tapi bukan berarti berpuasa di bulan Rajab menjadi terlarang. Telah lewat hadits yang menyatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ataupun berbuka di bulan Rajab. Mari kita simak penjelasan berikut :
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
ولم يثبت في صوم رجب نهي ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه. وفي سنن أبي داود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ندب إلى الصوم من الأشهر الحرم ورجب أحدها والله أعلم
“Tidak tsabit adanya larangan ataupun anjuran puasa khusus di bulan Rajab. Akan tetapi asal berpuasa di bulan tersebut adalah dianjurkan. Dalam Sunan Abi Daawud menyebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa di bulan-bulan Haram, sedangkan Rajab salah satu di antaranya. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim].
Senada dengan An-Nawawiy adalah pendapat Ibnu Shalah rahimahullah.
Hadits yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy di atas adalah :
حدثنا موسى بن إسماعيل ثنا حماد عن سعيد الجريري عن أبي السليل عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abus-Saliil, dari Mujiibah Al-Baahiliyyah, dari ayahnya atau dari pamannya, bahwasannya ia datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian pergi. Setelah itu, ia kembali datang kepada beliau setelah satu tahun, dan keadaan serta penampilannya telah berubah. Kemudian ia berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau mengenalku ?”. Beliau bertanya : "Siapakan engkau ?". Ia berkata : “Aku adalah Al-Baahiliy yang telah datang kepadamu setahun silam”. Beliau bersabda : "Apakah yang telah mengubahmu ? Padahal dulu penampilanmu baik". Ia berkata : “Aku tidak makan kecuali pada malam hari semenjak aku berpisah denganmu”. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kenapa engkau menyiksa dirimu ?". Lalu beliau meneruskan : "Berpuasalah pada bulan yang penuh kesabaran (Ramadlan), dan satu hari setiap bulan". Ia berkata : “Tambahkan untukku, karena sesungguhnya saya masih sanggup (lebih dari itu)”. Beliau bersabda : "Berpuasalah dua hari !". Ia berkata : “tambahkan untukku !”. Beliau bersabda : "Berpuasalah tiga hari !". Ia berkata : “Tambahkan untukku !”. Beliau bersabda : "Berpuasalah sebagian dari bulan-bulan Haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram)." Beliau mengatakannya dengan memberi isyarat dengan ketiga jarinya, beliau menggenggamnya kemudian membukanya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2428].
Sayangnya, hadits ini tidak shahih. Mujiibah dalam sanad ini diperselisihkan :
1. Diperselisihkan apakah ia seorang laki-laki atau wanita. Ibnu Hajar saat menjelaskan biografi Abu Mujiibah menyebutkan perselisihan ini.
2. Diperselisihkan apakah ia berstatus shahabat atau bukan. Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (At-Tahriir, 3/349 no. 6491) berkata : “Dikatakan ia wanita dari kalangan shahabat”. Ia (Ibnu Hajar) menggunakan shighah tamridl yang tidak mengindikasikan satu pemastian darinya. Yang lebih nampak, ia bukanlah shahabat, karena status laki-laki atau perempuannya saja masih menjadi perselisihan. Selain itu, ia hanya memiliki satu hadits (yaitu hadits di atas) yang diriwayatkan oleh Abus-Saliil darinya; sehingga keadaannya adalah majhuul.
Selain itu, sanad riwayat ini juga mudltharib.
1. Abu Dawud (no. 2428), Ibnu Maajah (no. 1741) Al-Baihaqiy (4/291-292), Abu Nu’aim dalam Mu’jamush-Shahaabah (no. 7097), dan Ibnu Qaani’ dalam Mu’jamush-Shahaabah (2/93 no. 538) meriwayatkan : ‘dari Mujiibah Al-Baahiliyyah, dari ayahnya atau dari pamannya’.
2. An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (3/204 no. 2752) dan ‘Abd bin Humaid (1/325 no. 400) meriwayatkan : ‘dari Mujiibah Al-Baahiliy, dari pamannya’.
3. Ibnu Hajar (At-Tahdziib 4/29) menyebutkan bahwa ia juga diriwayatkan dari Abu Mujiibah, dari ayahnya, dari pamannya.
Meskipun begitu, telah shahih riwayat sebagian shahabat berpuasa di bulan-bulan Haram, seperti Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
عن معمر عن الزهري عن سالم أن بن عمر كان يصوم أشهر الحرم
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Saalim : Bahwasannya Ibnu ‘Umar berpuasa di bulan-bulan Haram [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7856; shahih].
Namun, mereka memakruhkan berpuasa sebulan penuh di bulan Rajab.
عن بن جريج عن عطاء قال كان بن عباس ينهى عن صيام رجب كله لأن لا يتخذ عيدا
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata : “Ibnu ‘Abbaas melarang puasa Rajab secara penuh (dalam satu bulan) agar (bulan tersebut) tidak dijadikan sebagai ‘Ied” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7854; shahih].[6]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
وعن ابن عباس: أنه كره أن يصام رجب كله وعن ابن عمر وابن عباس أنهما كانا يريان أن يفطر منه أياما وكرهه أنس أيضا وسعيد بن جبير وكره صيام رجب كله يحيى بن سعيد الأنصاري والإمام أحمد وقال: يفطر منه يوما أو يومين وحكاه عن ابن عمر وابن عباس وقال الشافعي في القديم: أكره أن يتخذ الرجل صوم شهر يكمله كما يكمل رمضان واحتج بحديث عائشة: ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل شهرا قط إلا رمضان.
“Dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia membenci berpuasa di bulan Rajab secara penuh. Dan dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbaas bahwa keduanya berpendapat orang yang berpuasa di bulan Rajab hendaknya berbuka dalam beberapa hari. Anas dan Sa’iid bin Jubair juga membencinya. Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy dan Al-Imam Ahmad membenci puasa di bulan Rajab secara penuh. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hendaknya berbuka sehari atau dua hari’ – dimana ia mengutipnya dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbaas. Asy-Syaafi’iy dalam al-qadiim berkata : ‘Aku membenci seseorang berpuasa satu bulan secara sempurna sebagaimana ia menyempurnakan Ramadlan’. Ia berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah : ‘Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan pun selain bulan Ramadlan’…..” [Lathaaiful-Ma’aarif, hal. 119; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1424].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Alhamdulillah, tulisan singkat ini dapat diselesaikan, semoga ada manfaatnya.
[1] Ada satu riwayat sebagai berikut :
عن ابن عباس؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن صيام رجب.
Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa di bulan Rajab [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1743, Ath-Thabaraaniy 10/348 no. 10681, dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 3814].
Sanad hadits ini lemah – bahkan sangat lemah, dengan letak kelemahan pada Daawud bin ‘Athaa’ Al-Muzanniy, Abu Sulaimaan Al-Makkiy.
Ahmad berkata : “Jangan meriwayatkan hadits darinya”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak ada apa-apanya”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat, dla’iiful-hadiits, munkarul-hadiits”. Al-Bukhaariy dan Abu Zur’ah berkata : “Munkarul-hadiits”. An-Nasaa’iy berkata : “Dla’iif”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Haditsnya tidak banyak, dan sebagian haditsnya terdapat pengingkaran”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Matruuk, termasuk penduduk Makkah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Banyak keliru dalam khabar-khabar/hadits. Tidak boleh berhujjah karena banyaknya kekeliruan yang ada padanya”. Muslim berkata : “Dzaahibul-hadiits”.
[2] Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/231, Abu Ya’laa no. 2602, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 3799, dan yang lainnya.
[3] ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab Al-Qa’nabiy Al-Haaritsiy, seorang yang tsiqah lagi ahli ibadah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahihnya.
Malik, ia adalah Ibnu Anas; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Abun-Nadlr, ia adalah Saalim bin Abi Umayyah Al-Qurasyiy At-Taimiy, seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun sering melakukan irsal. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Akan tetapi riwayatnya di sini bukan termasuk riwayat mursal-nya.
Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan, seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[4] Abu Mu’aawiyyah adalah Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, seorang yang tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ia merupakan orang yang paling haafidh dalam periwayatan dari Al-A’masy.
Al-A’masy adalah seorang yang tsiqah lagi haafidh, termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Akan tetapi masyhur melakukan tadlis, sedangkan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah – sehingga riwayatnya lemah (dla’if).
Wabarah bin ‘Abdirrahman Al-Kuufiy Abu Khuzaimah, seorang yang tsiqah, termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Kharasyah bin Al-Hurr Al-Fazaariy, seorang yang tsiqah dari kalangan kibaarut-taabi’iin. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Al-A’masy mempunyai mutaba’ah dari Mis’ar dari Wabarah, dari Kharasyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur [Tabayyunul-‘Ujb oleh Ibnu Hajar, hal. 70] dan Ibnu Abi Syaibah [Musnad Al-Faaruq oleh Ibnu Katsiir, 1/285].
[5] Wakii’ bin Al-Jarraah, seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ahli ibadah.
‘Aashim bin Muhammad bin Zaid bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab, seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Muhammad bin Zaid bin bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab, seorang yang tsiqah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
[6] ‘An’anah Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ – dan ia seorang mudallis – tidak memudlaratkannya. Ibnu Abi Khaitsamah membawakan satu riwayat shahih dari Ibnu Juraij, bahwa ia (Ibnu Juraij berkata) :
إذا قلت قال عطاء فأنا سمعته منه وإن لم أقل سمعت
“Apabila aku berkata : Telah berkata ‘Atha’ , maka artinya aku telah mendengarnya walau aku tidak mengatakan : Aku telah mendengar” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/617 – biografi ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziz bin Juraij Al-Umawiy].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pun kemudian memberikan penegasan :
وهذه فائدة هامة جدا ، تدلنا على أن عنعنة ابن جريج عن عطاء في حكم السماع
“Ini satu faedah yang sangat besar, yang menunjukkan pada kita bahwa ‘an’anah Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dihukumi penyimakan (sama’)” [Irwaaul-Ghaliil, 4/244].
Sumber :
Sahabat Islam Kaffah
Abul Jauzaa
Islam Kaffah
BID’AH BULAN RAJAB
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah penutup kenabian dan keluarga seta sahabatnya hingga hari kiamat
Telah diketahui oleh umat islam bahwa bulan Rajab adalah termasuk asyhurul hurum (bulan haram/ mulia) yang dikatakan Allah dalam firmannya:
(إنَّ عدَّةَ الشُّهورِ عند الله اثنا عَشَرَ شهراً في كتاب الله يوم خَلَقَ السَّمواتِ والأرضَ منها أربْعة حُرُمٌ ذلك الدِّين القَيِّم فلا تظْلِمُوا فيهنَّ أَنْفُسَكمْ). [التوبة: 36].
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (At-Taubah: 36)
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang sebab bulan-bulan ini dinamakan bulan haram. Sebagian mereka mengatakan disebut bulan haram karena besarnya kehormatannya sehingga kebaikan dan amal saleh yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar pahalanya disbanding bulan-bulan lain sebagaimana dosa yang dilakukan didalamnya juga lebih berat siksaannya. Sebagian lagi mengatakan karena diharamkannya peperangan pada bulan-bulan itu.
Menurut pendapat imam Ibnu Rajab al-Hanbali bulan ini disebut bulan Rajab karena bulan ini diagungkan; karena dalam bahasa arab Rajaba memiliki arti mengagungkan dan memuliakan.
Orang-orang arab jahiliyah dulu memuliakan bulan ini apalagi kabilah Mudhar oleh karena itu bulan ini disebut juga Rajab Mudhar. Mereka pada bulan ini melarang perang dan mereka menunggu-nunggu tanggal 10 untuk berdoa atas orang yang zalim, doa mereka pun dikabulkan. Dan mereka pada bulan ini menyembelih hewan sembelihan yang mereka namakan al-‘atirah yaitu seekor kambing yang dipersebahkan untuk berhala-berhala mereka kemudian darahnya disiram ke kepala berhala-berhala tersebut.
Menurut kebanyakan ulama kebiasaan ini telah dihilangkan oleh Islam berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dalam as-shahihain: (tidak ada lagi fara’-anak unta yang disembelih untuk berhala- dan atirah).
Diriwayatkan dalam hadits Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah jika telah masuk bulan Rajab bersabda: “Ya Allah berkahilan kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadan” hanya saja sanad hadits ini ada kelemahannya.
Sebagian ulama salaf mengatakan: “Bulan Rajab bulan menanam, bulan Sya’ban bulan menyiram, bulan Ramadan bulan panen.”
Bid’ah yang dilakukan orang pada bulan Rajab
Sungguh merupakan hal yang aneh yang dilakukan sebagian orang pada bulan Rajab banyak perbuatan-perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan Allah swt. Bid’ah-bid’ah ini telah disebutkan para imam dan ulama-ulama dahulu seperti Syekh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, as-syatibi, Ibnu Rajab al-hanbali, at-Tharthusyi, dan ibnu Hajr. Atau ulama-ulama sekarang seperti Syekh Ali Mahfuz, as-Syuqairi, Ibn Baz, al-albani, Ibn Utsaimin -rahimahumullah-, dan Syekh Shalih al-Fauzan.
Diantara bid’ah-bid’ah tersebut adalah:
1. Shalat
Shalat yang mereka lakukan ada bermacam-macam:
– Shalat alfiyah yang dilakukan pada hari pertama Rajab dan pertengahan sya'ban.
– Shalat Ummi Daud yang dilakukan pada pertengahan Rajab sebagaimana dijelaskan Syekh Islam dalam kitabnya Iqtidhau as-shirathal mustaqim halaman 293
– Shalat Ragha’ib yang juga disebut shalat dua belas yang dilakukan pada malam Jumat pertama bulan Rajab setelah shalat isya atau antara magrib dan isya sebanyak dua belas rakaat. Setiap rakaat membaca Alfatihah, surat al-Qadar tiga kali, dan surat al-Ikhlas dua belas kali. Setiap dua rakaat salam. Shalat ini bid’ah yang dimunculkan pada abad keempat. Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaif al-Maarif” hal 140 mengatakan: “Adapun tentang shalat tidak ada hadits yang shahih tentang shalat tertentu yang dilakukan pada bulan Rajab. Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan shalat raghaib pada malam jumat pertama bulan Rajab adalah bohong, batil dan tidak sah”
2. Puasa
Puasa bid’ah yang dilakukan orang pada bulan ini bermacam-macam diantaranya:
– Ada yang berpuasa pada hari pertama, kedua, dan ketiga. Mereka mendasari perbuatan tersebut kepada hadits-hadits palsu seperti hadits “Barangsiapa berpuasa tiga hari Kamis, Jumat dan Sabtu pada bulan haram Allah akan memberikannya pahala ibadah selama sembilan ratus tahun” dalam lafaz lain “enam puluh tahun” dan riwayat lain mengatakan: “Puasa hari pertama bulan Rajab menghapus dosa tiga tahun, hari kedua menghapus dua tahun dan hari selanjutnya satu bulan” juga hadits: “Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan bulan umatku.” Semua hadits diatas palsu dan bohong.
– Ada yang berpuasa pada hari ketujuh saja dan melakukan shalat raghaib pada malam harinya. Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Yang benar menurut pendapat para ulama adalah larangan mengkhususkan hari ketujuh dengan puasa dan shalat bid’ah dan seluruh bentuk pemuliaan terhadap hari ini dengan membuat makanan, menampakkan perhiasan dan lain-lain”
– Ada yang melaksanakan puasa sebulan penuh. Ibnu Rajab berkata: “Tentang puasa tak ada satu pun hadits shahih dari Nabi atau sahabatnya tentang keutamaan puasa Rajab secara khusus.” Para ulama salaf melarang puasa Rajab seluruhnya. Diriwayatkan dari Umar bin Khatab ra. bahwa ia memukul tangan orang-orang yang puasa Rajab hingga mereka meletakkannya pada makanan (membatalakan puasanya) seraya berkata: “Apakah Rajab itu? Bulan ini dulu dimuliakan orang-orang jahiliyah, setelah Islam datang hal ini ditinggalkan.” Dalam riwayat lain: “ia tidak suka puasa Rajab dianggap sunah” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia melarang puasa penuh pada bulan Rajab. Dari Abu Bakrah ra ia melihat keluarganya bersiap-siap untuk puasa Rajab, ia berkata: “Apakah kalian menjadikan Rajab seperti Ramadan?”. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra ia berpendapat untuk tidak berpuasa beberapa hari pada bulan ini sedangkan Anas bin Malik dan Said bin Jubair dan yang lainnya memakruhkannya. Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam bukunya “Tabyinul ajab bima warada fi fadhli Rajab” menerangkan: “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dan bisa dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab, baik puasa seluruhnya, puasa sebagian harinya, atau shalat pada malam tertentu darinya”
3. Ziarah kubur Rasulullah pada bulan ini
Ziarah masjid Nabi dan kuburannya disyariatkan sepanjang tahun dan hal ini termasuk bentuk ibadah dan ketaatan, tetapi mengkhususkannya pada bulan ini termasuk bid’ah yang tidak ada dalilnya. Mengkhususkan suatu amal ibadah pada waktu tertentu yang tidak ditentukan oleh Allah SWT, dan Rasul-Nya termasuk bid’ah yang dilarang, maka waspadalah !!!. Syekh Al-Albani telah menyebutkan hal ini dalam bukunya “Ahkamul Janaiz wa bidauha”
4. Umrah di bulan Rajab
Hadits-hadits menunjukkan bahwa Nabi belum pernah melakukan umrah pada bulan Rajab sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “Saya masuk ke masjid nabawi bersama Urwah bin Zubair dan mendapati Abdullah bin Umar duduk dekat kamar Aisyah ra. Ibnu Umar ditanya: ‘Berapa kali Rasulullah melaksanakan umrah?’ ia menjawab: ‘Empat kali, salah satunya pada bulan Rajab.’ Kami pun enggan untuk membantahnya. Lalu kami dengar suara Aisyah sedang bersiwak dalam kamarnya, Urwah pun bertanya: ‘Wahai Ummul Mukminin apakah engkau mendengar apa yang dikatakan Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar)’ Aisyah bertanya: ‘Apa yang dikatakannya?’ ia berkata: ‘Ia mengatakan Rasulullah melakukan umrah empat kali salah satunya di bulan Rajab’ Aisyah berkata: ‘Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, tidak pernah Rasulullah melaksanakan umrah kecuali aku ikut dengannya dan ia tidak pernah umrah di bulan Rajab.’” (Muttafaq alaih). Dalam riwayat Muslim: “Ibnu Umar mendengar –perkataan Aisyah- tapi ia tidak berkata iya atau tidak.” Imam Nawawi berkata: “Diamnya Ibnu Umar atas bantahan Aisyah menunjukkan ia lupa atau ragu-ragu.” Oleh karena itu termasuk perkara bid’ah di bulan ini mengkhusukannya dengan umrah dan meyakini umrah pada bulan Rajab memiliki keutamaan khusus. Tidak ada nash yang menerangkan hal itu, disamping riwayat bahwa Nabi umrah pada bulan Rajab tidak benar. Syekh Ali bin Ibrahim al-Atthar yang wafat pada tahun 724 H berkata: “Saya mendapat kabar dari penduduk Mekkah –semoga Allah swt menambah kemuliaan kepadanya- banyaknya orang yang melaksanakan umrah pada bulan Rajab. Hal ini saya tidak tahu tentang dalilnya. Yang pasti adalah hadits Rasulullah yang mengatakan: “Umrah di bulan Ramadan sama dengan melaksanakn haji.” Syekh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata dalam fatwa-fatwanya: “Mengkhususkan sebagian hari bulan Rajab dengan amalan apa saja seperti ziarah dan lainnya tidak ada dalilnya karena Imam Abu syama telah menetapkan dalam kitab Al-Bida’ wal hawadits bahwa tidak seyogyanya mengkhususkan ibadah dengan waktu-waktu tertentu yang tidak ditentukan syariat, karena suatu waktu tidak memiliki kelebihan dibanding waktu lain kecuali yang telah ditetapkan syariat sesuatu ibadah memiliki nilai lebih pada waktu tertentu atau semua ibadah memiliki kelebihan pada suatu waktu. Oleh karena itu para ulama mengingkari pengkhususan bulan Rajab untuk banyak melakukan umrah.” Akan tetapi jika sesorang pergi umrah bertepatan pada bulan Rajab tanpa meyakini keutamaan tertentu di dalamnya atau karena kemampuannya pada waktu ini maka tidak apa-apa.
5. Perayaan malam Isra Mi’raj pada malam dua puluh Rajab, membaca cerita mi’raj, dan memberi makanan.
Perbuatan ini termasuk bid’ah mungkar yang dilakukan banyak orang. Mereka pada malam dua puluh tujuh ini membaca cerita mi’raj yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas yang semuanya adalah kebohongan dan dusta.
Perayaan ini bid’ah tidak boleh dilaksanakan karena beberapa sebab:
– Para ulama saling berbeda pendapat dalam penentuan tanggal terjadinya peristiwa mulia ini. Tidak ada dalil yang menentukan malam terjadinya juga bulan terjadinya.
– Jika peristiwa itu memang benar terjadi pada malam dua tujuh tidak boleh kita mengadakan perayaan tersebut juga tidak boleh kita mengistimewakannya dengan sesuatu yang tidak disyariatkan Allah dan Rasulnya.
– Pada malam dan perayaan Isra Mi’raj itu terjadi berbagai macam kemungkaran. Sebagian ulama berkata: “Orang-orang melakukan berbagai macam variasi kemungkaran dan bid’ah pada malam ini seperti berkumpul di masjid-masjid, menyalakan lilin dan lampu di dalamnya.”
Pada tulisan ini saya ingin menyadur perkataan dari Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah, tentang masalah ini. Ia berkata: “Malam dimana terjadi peristiwa Isra Mi’raj tidak ada dalam hadits-hadits sahih waktu penentuannya, tidak pada bulan Rajab juga pada bulan lainnya. Semua hal yang berkait tentang penentuannya tidak ada yang benar menurut ulama hadits.”
Tentang hikmah ilahiyah tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya peristiwa Isra Mi’raj tersebut syekh Bin Baz berkata: “Allah menjadikan hikmah yang besar ketidaktahuannya manusia secara pasti kapan peristiwa itu terjadi. Meskipun diketahui secara pasti kapan peristiwa itu terjadi tetap tidak boleh bagi umat islam mengkhususkan malam itu dengan ibadah tertentu dan tidak boleh memperingatinya; karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah memperingatinya dan tidak mengkhususkannya dengan amalan apa pun. Seandainya peringatan isra mi’raj itu disyariatkan niscaya Rasulullah menjelaskannya kepada umatnya dengan pekataan atau perbuatan. Jika hal itu pernah terjadi pada masanya pasti akan diketahui dan dikenal serta diberitakan oleh para sahabatnya kepada kita, karena mereka telah menjelaskan segala apa yang dibutuhkan umat dari Nabi mereka dan mereka tidak pernah lalai dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan agama bahkan mereka adalah orang-orang pertama dalam setiap kebaikan. Jika peringatan malam isra mi’raj ini sesuai dengan syariat pasti mereka telah melaksanakannya dahulu…” dan seterusnya.
Ringkasan
Bid’ah disamping merupakan hal baru yang merubah agama juga merupakan ikatan dan belenggu yang menyia-nyiakan waktu, menghambur-hamburkan harta, dan melelahkan tenaga. La haula wala quwwata illa billah
Sungguh benar ucapan yang mengatakan:
Kebaikan berada dalam jejak para salaf (Rasulullah dan para sahabatnya serta pengikut mereka)
Kejelekan berada dalam bid’ah yang diadakan orang-orang khalaf
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keikhlasan dalam beramal dan selalu mengikuti sunah Rasulullah sampai kematian datang menjemput kita. Washallallah ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi washahbihi wasallam.
*Disadur dan diterjemahkan dari makalah yang berjudul "al-ajab mimma ahdatsannau fi rajab" karya Khalid Ahmad Al-Babtain dan makalh berjudul "Haula syahri rajab"
Sumber :
Islam Kaffah
باللغة الإندونيسية Khalid Ahmad Al-Babtain
Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar