Minggu, 14 Agustus 2011

Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dan Hukum-Hukumnya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

‘Id atau Hari Raya dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.

Tidak ada hari raya lain dalam Islam selain ketiga hari tersebut. Maka jika ada hari lain yang diklaim sebagai hari raya, maka bukanlah Hari Raya yang diakui oleh syari’at

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan bahwa penentuan Hari Raya merupakan wewenang syari’at, tidak bisa ditetapkan kecuali oleh syari’at.

Dinamakan ‘Id yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah bergembira pada dua hari yang mereka jadikan sebagai Hari Raya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

قد أبدلكم الله بهما بخير منهما يوم الأضحى ويوم الفطر

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari dua hari raya kalian, yaitu Hari ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.” HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2021.

Ini di antara yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin ada hari raya dalam Islam kecuali ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.

Pada hari tersebut Allah berikan kepada kaum muslimin kenikmatan berupa syi’ar-syi’ar ibadah dan anugrah kebaikan dan kebahagiaan yang mereka tampakkan pada dua hari tersebut. Di antaranya nikmat kembali boleh makan, minum, dan jima’ setelah sebelumnya dilarang selama sebulan penuh, keluasaan merayakan hari tersebut dengan hal-hal yang mubah dan kesenangan yang diperbolehkan. Di antaranya juga kenikmatan merayakan hari tersebut dengan lantunan takbir, tahlil, dan tahmid, kemudian shalat, serta menyempurnakan pelaksanaan manasik haji di negeri yang suci, dan bertaqarrub kepada-Nya dengan menumpahkan darah hewan qurban.


● Hukum Shalat ‘Id

Di antara syi’ar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha adalah pelaksanaan shalat ‘id, yang dilakukan di tempat lapang dan terbuka, yang dihadiri oleh kaum muslimin. Para ‘ulama sepakat bahwa Shalat ‘Id masyru’. Namun para ‘ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah sunnah, fardhu kifayah, ataukah fardhu ‘ain.

1. Pendapat Pertama : Sunnah Mu`akkad.

Dalilnya adalah :

a. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang arab badui yang bertanya tentang hal-hal yang wajib dalam agama, maka jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

خمس صلوات كتبهن الله على عباده

Shalat lima waktu yang telah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya.

Kemudian si arab badui tersebut bertanya lagi, “Apakah ada lagi kewajiban lain atasku?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Tidak.

b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala beliau memberikan pengarahkan kepada Mu’adz yang hendak beliau utus ke Yaman sebagai da’i. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Mu’adz kewajiban-kewajiban yang harus disampaikan kepada ahlul kitab Yaman, di antaranya :

فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في يوم وليلة

“Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu (yakni mau memenuhi ajakan kepada tauhid/syahadatain) maka berikutnya ajarkan kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari dan semalam.”

Sisi pendalilan : pada hadits di atas, dengan tegas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa yang wajib adalah shalat lima waktu saja. Berarti semua shalat selain shalat lima waktu maka hukumnya adalah sunnah atau tidak wajib.

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan shalat ‘id, maka tingkat sunnah di sini adalah sunnah mu`akkad.

Namun pendalilan di atas kurang tepat. Karena jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan kewajiban shalat yang bersifat harian. Karena tidak diragukan ada shalat-shalat lain yang hukumnya wajib di luar shalat lima waktu. Misalnya shalat Jum’at, Shalat Kusuf (Gerhana), dan Shalat Tahiyyatul Masjid.

2. Pendapat Kedua : Fardhu / Wajib.

Berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua kaum muslimin, baik pria maupun wanita, bahkan wanita yang padanya ada halangan sekalipun.

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi shalat. Hendaknya mereka semua menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Maka aku (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita untuk keluar, sampai wanita yang sedang haidh pun beliau perintah untuk turut serta juga, bahkan yang tidak punya jilbab beliau perintah untuk dipinjami agar ia bisa turut serta juga, kecuali karena untuk perintah yang bersifat fardhu ‘ain.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

“Perintah tersebut menunjukkan kewajiban. Jika keluar (menuju mushalla ‘id) adalah wajib, maka tentu shalat lebih wajib lagi, sebagaimana itu sudah sangat jelas.

Maka yang benar adalah wajibnya (shalat ‘id) bukan sekedar sunnah. Dan di antara dalil yang menunjukkan wajib adalah bahwa shalat ‘Id bisa menggugurkan shalat Jum’at apabila jatuh pada hari yang sama. … ” (Tamamul Minnah)

● Fardhu ‘Ain ataukah Fardhu Kifayah?

Sebagian ‘ulama berpendapat hukum fardhu di sini adalah fardhu kifayah.

Sebagian lagi berpendapat Fardhu ‘Ain. Pendapat ini lebih kuat, karena perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita, seandainya fardhu kifayah, maka cukup kaum pria yang diperintah untuk mengerjakan. Tapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum wanita, bahkan yang tidak punya jilbab diperintahkan untuk dipinjami. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.


Perhatian :

1. Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah, bahwa keluarnya kaum wanita untuk shalat ‘Id adalah harus tetap memperhatikan ketentuan syari’at, yaitu harus mengenakan hijab syar’i, tidak berhias, menghindari ikhtilath (campur baur antara kaum pria dan kaum wanita), dll.

2. Wanita haidh harus menjauhi tempat shalat.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id hukumnya fardhu kifayah menurut kebanyakan ‘ulama, boleh untuk tidak mengerjakannya bagi sebagian orang. Namun hadir dan turut serta (shalat ‘Id) bersama saudara-saudaranya kaum muslimin merupakan sunnah yang ditekankan yang tidak sepantasnya ditinggalkan kecuali karena adanya ‘udzur (alasan) syar’i.

Sementara itu, sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa Shalat ‘Id hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana Shalat Jum’at. Tidak boleh bagi seorang mukallaf pun dari kalangan pria merdeka penduduk setempat untuk tidak mengerjakannya. Pendapat ini lebih kuat dalilnya dan lebih dekat kepada kebenaran. Dan disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat ‘id juga, namun dengan tetap memperhatikan hijab, menutup aurat, dan tidak mengenakan wewangian. Hal berdasarkan hadits yang sah dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Kami diperintah (oleh Nabi) mengajak keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Agar mereka juga bisa turut menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi tempat shalat.

Pada sebagian riwayat :

Salah seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. Muttafaqun ‘alaihi

Tidak diragukan, bahwa hadits ini menunjukkan ditekankannya bagi kaum wanita untuk turut hadir dalam shalat ‘Id agar mereka juga bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/7-8).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Shalat ‘Id merupakan sunnah  yang wajib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau juga memerintahkan kaum wanita untuk hadir pula dalam shalat ‘Id. Namun tidak boleh bagi wanita untuk mendatangi tempat shalat ‘id dalam keadaan berdandan, atau memakai wewangian, atau berhias, atau terbuka wajahnya. Karena itu semua haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Wanita manapun yang memakai bukhur (salah satu jenis wewangian) maka jangan hadir shalat ‘Isya’ bersama kami (di masjid).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang memaki bukhur, maka bagaimana dengan wanita yang memakai wewangian paling wangi, lalu datang ke masjid? Maka dia berdosa, sejak ia keluar rumah sampai ia kembali lagi ke rumah.

Maka wajib atas kaum wanita untuk keluar (untuk shalat ‘Id) dengan penampilan yang diizinkan oleh syari’at. Yaitu keluar tidak dengan berhias, tidak memakai wewangian, tidak pula bersolek. Berjalan dengan sopan, tidak berbicara dengan pria. Karena itu termasuk fitnah.

Kaum wanita hadir shalat ‘id hanyalah dalam rangka barakah dari berkumpulnya kaum muslimin dalam menjalankan ketaatan dan peribadatan kepada Allah, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. (Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/165)

● Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dilaksanakan di Mushalla, yaitu tempat terbuka dan lapang di pinggir kota, desa, atau perkampungan.

Berdasarkan hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu :

كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha menuju mushalla. Muttafaqun ‘alaihi

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ‘ulama, bahwa shalat ‘Id dikerjakan di mushalla, kecuali jika ada ‘udzur seperti hujan atau lainnya, maka ketika itu dikerjakan di masjid.

Adapun ‘ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa Shalat ‘Id lebih utama dikerjakan di masjid jika masjidnya memang luas. Karena masjid merupakan tempat yang paling mulia dan paling bersih dari pada tempat-tempat lainnya. Namun jika masjidnya sempit maka ketika itu baru dikerjakan di mushalla.

Namun pendapat Jumhur ‘ulama lebih tepat. Karena itulah yang sesuai dengan sunnah dan cara pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjelaskan permasalahan ini secara panjang lebar, diiring dengan argumentasi-argumentasi ilmiah nan kokoh dalam risalah beliau berjudul Shalatul ‘Idain fil Mushalla hiyas Sunnah (Shalat Dua Hari Raya di Mushalla itulah Sunnah).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya :

Apa hukum shalat ‘Id di masjid?

Maka beliau rahimahullah menjawab :

“Tuntunan Sunnah dalam pelaksanaan Shalat ‘id adalah dilaksanakan di tempat terbuka dan lapang. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu keluar untuk Shalat ‘Id ke tempat terbuka dan lapang, padahal beliau sendiri yang telah memberitakan tentang nilai shalat di Masjid Nabawi “lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain.” Meskipun demikian beliau meninggalkan shalat ‘Id di Masjid Nabawi, dan beliau memilih keluar menuju mushalla, mengerjakan shalat ‘Id di situ.

Atas dasar ini, maka sunnah adalah kaum muslimin keluar menuju tanah terbuka dan lapang dalam melaksanakan shalat ‘Id, yang merupakan salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam.

Namun berbeda dengan di dua tanah haram (Makkah dan Madinah) sejak dulu. Shalat ‘Id dilaksanakan di Masjidil Haram (Makkah), dan juga di Masjid Nabawi. Demikianlah praktek kaum muslimin sejak masa lalu.”

* * *

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah juga ditanya :

Apakah Shalat ‘Id di tanah lapang terbuka afdhal (lebih utama) walaupun di Makkah dan Madinah? Ataukah Al-Haram (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) lebih utama?

Beliau rahimahullah menjawab :

“Shalat ‘Id di mushallah lebih utama. Namun di Makkah sudah berlangsung praktek sejak dahulu bahwa kaum muslimin shalat ‘Id di Masjdil Haram. Demikian juga di Madinah kaum muslimin sejak dahulu shalat ‘Id di Masjid Nabawi.

Untuk Madinah, tidak diragukan shalat ‘Id di mushalla lebih utama, sebagaimana praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khalafa`ur Rasyidini radhiyallahu ‘anhum. Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan Shalat ‘Id di mushalla.

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/142)

* * *

Hukum-Hukum dan Adab-adab

terkait Hari Raya

1. Mengenakan Pakaian yang Bagus

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

كان يلبس يوم العيد بردة حمراء

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id mengenakan burdah merah. HR. Ath-Thabarani. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 1279.

Perhatian :

a. Mengenakan Pakaian Bagus ini berlaku hanya bagi pria. Adapun kaum wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang indah ketika berangkat ke mushalla. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita yang keluar ke masjid, “namun hendaknya mereka keluar dengan tidak mengenakan wewangian.” HR. Abu Dawud, yakni dengan mengenakan pakaian biasa, bukan  pakaian berdandan atau bersolek. Haram bagi kaum wanita keluar dalam keadaan memakai wewangian dan berdandan.

b. Pakaian bagus di sini bukan berarti baju yang baru, apalagi baju mewah yang mahal.

2. Mandi

Sebagian ‘ulama berpendapat disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ‘Id. Hal ini diriwayatkan dari sebagian Salaf.

3. Makan terlebih dahulu Sebelum Berangkat menuju Shalat ‘Idul Fithri

Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَغْدُو يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berangkat pada Hari ‘Idul Fithri (menuju shalat ‘id) sebelum beliau memakan beberapa kurma terlebih dahulu. HR. Al-Bukhari

Dalam riwayata lain dengan tambahan keterangan : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari secara mu’allaq.

4. Adapun Pada ‘Idul Adh-ha Mengakhirkan Makan, dan Baru Makan setelah Kembali.

كَانَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - لَا يَخْرُجُ يَوْمَ اَلْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ, وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ اَلْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّي

Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari ‘Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau mengerjakan shalat. HR. At-Tirmidz.

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

… وكان لا يأكل يوم النحر حتى يرجع .

… dan pada ‘Idul Adh-ha beliau tidak makan sampai beliau kembali (dari shalat ‘Id)HR. Ibnu Majah

Kedua hadits di atas dari shahabat Buraidah radhiyallahu ‘anhu , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

5. Menuju ke Mushalla Shalat ‘Id dengan melewati Jalan yang Berbeda antara berangkat dan pulangnya

Dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma :

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila Hari Raya, beliau menempuh jalan yang berbeda. Muttafaqun ‘alaihi

Dari shahabat Abu Hurairah :

كان النبي صلى الله عليه وسلم  إذا خرج إلى العيدين رجع في غير الطريق الذي خرج فيه

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar menuju shalat ‘Id, beliau pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat. HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Majah.

6. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id

Waktu Shalat ‘Id adalah seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu sejak Matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya Matahari. Dalilnya :

Pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa`ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum tidaklah mengerjakan shalat ‘id kecuali setelah Matahari setinggi tombak.

Kedua : Bahwa sebelum itu (yakni mulai selesai shubuh, sampai matahari terbit namun masih belum setinggi tombak) adalah waktu terlarang untuk shalat.

(lihat Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin)

Al-Imam Abu Dawud rahimahullah dalam kitab Sunan-nya meletakkan bab berjudul : “Waktu Berangkat untuk Shalat ‘Id“. Kemudian beliau menyebutkan atsar dari salah seorang Shahabat Nabi bernama ‘Abdul bin Bisr radhiyallahu ‘anhu :

خرج عبد الله بن بسر صاحب النبي صلى الله عليه وسلم مع الناس في يوم عيد فطر أو أضحى فأنكر إبطاء الإمام وقال : إنا كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم قد فرغنا ساعتنا هذه وذلك حين التسبيح

‘Abdullah bin  Bisr salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama kaum muslimin pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adh-ha. Maka beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau berkata : “Dulu ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada waktu seperti ini sudah selesai shalat.” Saat ini adalah sudah masuk waktu shalat Dhuha. HR. Abu Dawud. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil III/101.

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata ketika menjelaskan riwayat di atas :

Abu Dawud menyebutkan bab : “Waktu Berangkat Untuk Shalat ‘Id”, yakni berangkat pada awal siang. Khathib tiba apabila Matahari sudah tinggi. Waktu boleh untuk shalat datang setelah waktu terlarang untuk shalat, yaitu ketika Matahari sudah setinggi tombak. Terdapat satu hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri.

Shalat ‘Idul Fithri jika engkau akhirkan sedikit dari masuknya waktu, maka akan memberikan kesempatan lebih luas untuk pembagian Zakat Fitri. Adapun Shalat ‘Idul Adh-ha jika disegerakan, maka memberikan kesempatan lebih luas untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.

Yang jelas, waktu Shalat ‘Id dimulai sejak Matahari setinggi tombak, sebagaimana hadits shahabat ‘Abdullah bin Bisr …. .” (Syarh Sunan Abi Dawud - Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Waktu Shalat ‘Id dimulai semenjak Matahari setinggi tombak dan berakhir ketika zawal (Matahari mulai tergelincir). Namun disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adh-ha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri. Berdasarkan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dulu melaksanakan shalat ‘Idul Adh-ha ketika Matahari setinggi tombak, dan melaksanakan Shalat ‘Idul Fithri ketika Matahari setinggi dua tombak. Karena umat ketika ‘Idul Fithri butuh waktu yang longgar untuk memberikan kesempatan membagikan Zakat Fitri. Adapun pada ‘Idul Adh-ha yang dituntunkan untuk bersegera menyembelih hewan qurban, dan ini tidak bisa terwujud kecuali jika shalat disegerakan pada awal waktu.”

(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/141)

7. Apakah ada Adzan dan Iqamah?

Dari ‘Atha rahimahullah dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhum, berkata : “Tidak pernah ada adzan pada hari ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha.”

Kemudian aku (‘Atha`) bertanya kepadanya setelah beberapa waktu, maka Ibnu ‘Abbas berkata, Jabir bin ‘Abdillah memberitakan bahwa tidak ada adzan untuk shalat ‘Idul Fithri ketika keluarnya imam atau pun setelahnya, tidak ada pula iqamah, tidak ada seruan, dan tidak ada sesuatupun. Tidak ada adzan pada hari itu, dan tidak ada pula iqamah.” Muttafaqun ‘alaihi.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Saya shalat dua hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali atau dua kali, semuanya tanpa adzan dan tanpa iqamah.” HR. Muslim

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (Fatwa no. 1002)

Pertanyaan :

bagaimana dengan penggunaan mikrophon sebelum shalat ‘idul Fithri dan Shalat ‘idul Adh-ha, untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id dan memahamkan mereka bahwa shalat ‘id adalah shalat yang wajib?

Jawab :

Termasuk bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak melakukan seruan apapun untuk shalat ‘idul fithri maupun shalat ‘idul ‘Adh-ha, baik untuk mengajak kaum muslimin menghadiri shalat ‘id maupun memahamkan mereka tentang hukum shalat ‘id. Tidak boleh melakukan itu, baik dengan mikrophon atau pun yang lainnya. Karena waktu pelaksanaan shalat ‘id sudah diketahui, walhamdulillah. Allah Ta’ala telah berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ

Sungguh telah ada untuk kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi barangsiapa yang mengharap ridha Allah dan Hari Akhir. (Al-Ahzab : 21)

Dan semestinya bagi Waliyyul Amr, baik pemerintah maupun ‘ulama, untuk menjelaskan hukum shalat ‘id ini sebelum tiba Hari ‘Id, serta menjelaskan kepada mereka tata caranya, apa yang semestinya dilakukan padanya, baik sebelum maupun setelahnya, sehingga kaum muslimin bersemangat datang ke mushalla ketika pelaksanaan shalat ‘id dan menunaikannya sesuai dengan ketentuan syari’at.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota : ‘Abdullah bin Mani’

8. Tata Cara Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dua rakaat. Setelah Takbiratul Ihram sebelum membaca Al-Fatihah, takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan takbir sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

التكبير في الفطر سبع في الأولى، وخمس في الآخرة، والقراءة بعدهما كلتيهما

Takbir pada Shalat ‘Idul Fithri tujuh kali pada rakaat pertama, lima kali pada rakaat kedua. Dan qiraah dilakukan setelahnya pada dua rakaat tersebut.” HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Al-Irwa` III/108.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, pada rakaat pertama sebanyak 7 kali takbir, dan para rakaat kedua 5 kali takbir.”

Takbir ini hukumnya sunnah. Jika ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, tidak membatalkan shalat. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perselihan dalam masalah ini.“

Asy-Syaukani rahimahullah merajihkan bahwa jika lupa tidak perlu sujud sahwi.

Apa yang dibaca antara takbir-takbir tersebut?

Dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ta’anhu tentang shalat ‘Id : “Antara tiap dua takbir (membaca) pujian untuk Allah ‘Azza wa Jalla dan sanjungan terhadap Allah.”

Apakah Mengangkat Tangan ketika Takbir?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Tidak mengangkat tangan pada tiap-tiap takbir, kecuali pada takbir yang mengangkat tangan pada shalat-shalat lainnya.” (Al-Muhalla - masalah 543)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata :

“Yang benar dikatakan padanya, tidak disunnahkan mengangkat tangan, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Adapun diriwayatkan (mengangkat tangan) dari shahabat ‘Umar dan anaknya (‘Abdullah bin ‘Umar), tidak menjadikan hukumnya sunnah.” (Tamamul Minnah)

Namun keterangan di atas berbeda dengan keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Pada fatwa no. 10.557 Al-Lajnah Ad-Da`imah menegaskan bahwa “Mengangkat kedua tangan pada tiap takbir.” (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

“Yang benar, mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir, demikian juga pada takbir shalat jenazah. Karena ini diriwayatkan dari shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan tidak ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat yang menyelisihinya. Amalan seperti ini tidak ada kesempatan bagi ijtihad, karena itu gerakan dalam ibadah, tidaklah seorang shahabat berpegang pada satu pendapat, kecuali ada asalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah shahih riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah.” Bahwa diriwayatkan secara marfu’, di antara ‘ulama ada yang menshahihkan riwayat yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada pula riwayat dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu : “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah dan shalat ‘Id.”

Demikian juga terdapat riwayat dari Zaid. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Atsram.”

(Asy-Syarhul Mumti’)

Surat yang dibaca dalam Shalat ‘Id

Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu berkata : “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat ‘id dan shalat Jum’at membaca surat “Sabbihisma Rabbikal a’la” (yakni surat Al-A’la) dan surat “Hal Atakah Haditsul Ghasyiyah” (yakni surat Al-Ghasyiyyah). Apabila Hari ‘Id dan hari Jum’at bertemu pada satu hari yang sama, maka beliau pun membaca dua surat tersebut pada kedua shalat (yakni shalat ‘Id dan Shalat Jum’at). HR. Muslim

Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu : ‘Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadaku tentang surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Id? Maka aku jawab : “Beliau membaca surat “Iqtarabatis Sa’ah” (yakni surat Al-Qamar) dan surat “Qaf. Wal Qur`anil Majid” (yakni surat Qaf).” HR. Muslim

9. Tidak Ada Shalat Apapun Sebelum dan Sesudahnya

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج يوم الفطر، فصلى ركعتين، لم يصل قبلها ولا بعدها، ومعه بلال

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada hari ‘Idul Fithri, maka beliau mengerjakan Shalat (‘Id) dua rakaat, beliau tidak shalat apapun sebelum atau pun sesudahnya, dan bersama beliau shahabat Bilal. Muttafaqun ‘alaihi

10. Khuthbah ‘Id setelah Shalat

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata :

شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضي الله عنهم فكلهم كانوا يصلون قبل الخطبة

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersama Khalifah Abu Bakr, Khalifah ‘Umar, dan Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum, mereka semua mengerjakan shalat terlebih dahulu sebelum khuthbah. Muttafaqun ‘alaihi

Dari ‘Abdullah bin Sa`ib radhiyallahu ‘anhu :

شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، فلما قضى الصلاة قال : إنا نخطب؛ فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب

Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda : “Kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk (mendengar khuthbah), maka silakan duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi, boleh untuk pergi. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.

11. Apakah Khuthbah ‘Id dibuka dengan Takbir?

Hukum asalnya adalah seorang khathib memulai khuthbah dengan Khutbatul Hajah. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membuka Khuthbah ‘Id dengan takbir.

12. Qadha Shalat ‘Id

Dari Abu ‘Umair bin Anas bin Malik berkata, salah seorang pamanku dari Anshar dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadaku, mereka berkata, “bahwa hilal Syawwal terhalangi dari kami. Maka keesokan harinya kami pun masih berpuasa. Pada akhir siang datanglah rombangan para pengendara, maka mereka bersaksi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para shahabat) untuk membatalkan puasanya, dan melaksanakan shalat ‘Id esok harinya.

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :

-         Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id jika tidak diketahui telah masuk ‘Idul Fithri kecuali setelah berakhir (keluar) waktu pelaksanaan shalat ‘Id, maka pelaksanaannya ditunda esok harinya. Namun jika diketahui ketika masih dalam rentang waktu shalat ‘Id, maka dikerjakan hari itu juga.

-         Shalat yang dikerjakan esok harinya, apakah shalat ada` (tunai) atau qadha? Jawabnnya adalah shalat ada` (tunai), karena berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya adalah ada’ (tunai).

(lihat Syarh Bulughul Maram , Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).

13. Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meletakkan bab dalam Shahih-nya : “Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id maka Hendaknya Mengerjakan Shalat Dua Raka’at.”

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa cara mengerjakan Shalat Dua Raka’at tersebut adalah  persis dengan dengan cara pelaksanaan Shalat ‘Id itu sendiri, namun tanpa khuthbah.

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat jika terlewatkan shalat ‘id maka tidak perlu diqadha’. Karena dua alasan :

-         karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

-         karena Shalat ‘Id adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama pada waktu tertentu, tidaklah disyari’at pelaksanaannya kecuali dengan cara tersebut.

14. Takbir Pada ‘Idul Fithri

Disyari’atkan bertakbir pada ‘Idul Fithri, dimulai sejak keluar berangkat menuju shalat ‘id hingga dimulainya khutbah ‘id. Ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah shahabatnya.

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa takbir dimulai semenjak tenggelamnya Matahari malam ‘Idul Fithri.

Adapun lafazh takbir :

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.

Atau boleh juga :

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد.

15. Mengucapkan Selamat pada Hari Raya

Dari Jubair bin Nufair berkata, “Dulu para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bertemu pada hari  ‘Id, yang satu mengucapkan pada lain :

تقبل الله منا ومنكم

Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda

(diriwayatkan oleh Al-Muhamili)

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata :

“Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya) : “Taqabbalallahu minna wa minka a’malana ash-shalihah”, dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XIII/25)


Sumber : Darussalaf 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar