Rabu, 23 Maret 2011

Mengadzankan Bayi

Hadits Mengadzankan Bayi (Hadits Dhoif)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Sebelum kita mengambil keputusan hukumnya, kita bahas dahulu hadits yang dijadikan sandaran bagi orang-orang yang menganggapnya sunnah. Kita katakan : ada tiga hadits mengenai mengadzankan bayi, yaitu



Pertama : hadits Abu Rofi’ t Maula Rosulullah r ia berkata :” Aku melihat Rosulullah r adzan ditelinga Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah t melahirkanya “. Dikeluarkan oleh Abu daud (5105), At Tirmidzi (4/1514), Al Baihaqi dalam Al Kubro (9/300), Ahmad (6/391-392). Ath Thobroni dalam Al kabiir (931, 2578), Abdurrozaq (7986), Ath Thoyalisi (970), Al hakim (3/179) dan Al Baghowi dalam Syarah sunnah (11/273). Semuanya dari jalan Sufyan Ats Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya. Dalam sanad ini terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah, ia lemah. Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata :” munkar haditsnya “. Ad Daroquthni berkata :” Yutrok (ditinggalkan haditsnya).
Sementara itu Ath Thobroni meriwayatkan dalam al kabiir (926, 2579) dari jalan Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al Husain dengan tambahan :” Beliau r adzan ditelinga Al Hasan dan Al husain…diakhirnya dikatakan :” dan beliau memerintahkannya “. Dan Hammad bin Syu’aib sangat lemah, selain itu ia diselisihi oleh Sufyan Ats Tsauri dalam riwayat lalu sehingga riwayatnya munkar secara sanad dan matan.
Kedua : hadits Ibnu Abbas y yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul iman (6/8620) dari Muhammad bin Yunus dari Al hasan bin Amru bin Saif As Sadusi mengabarkan kepada kami Al Qosim bin Muthoyyab dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu ma’bad dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi r adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan iqomat di telinga kirinya “. Kemudian setelahnya Al Baihaqi berkata :” padanya terdapat kelemahan “.
Kita katakan :” Justru hadits ini palsu, illatnya adalah Al hasan bin Amru, Al hafidz Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib :” Matruk “. Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan :” ia dianggap pendusta oleh Ibnul Madini, Al Bukhori berkata :” Kadzdzaab (tukang dusta) “. Ar Rozi berkata :” Matruk “.
Ketiga : hadits Al Husain bin Ali, yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390), dan Ibnu Sunni dalam ‘amal yaum wal lailah (ح – 623) dari Yahya bin Al ‘Ala dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin Ubidillah dari Al husain bin Ali ia berkata, Rosulullah r bersabda :” Barang siapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqomat di telinga kirinya, tidak akan bermudlorot padanya ibunya bayi “. Sanad ini palsu, ada dua cacat : Yahya bin Al ‘Ala tertuduh berdusta (muttaham bil kadziB) dan Marwan bin Salim matruk.
Kesimpulan : hadits mengadzankan bayi adalah dlo’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam ilmu mushtolah hadits.
Hukum mengadzankan bayi
Setelah memaparkan derajat hadits-haditsnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengadzankan bayi itu tidak boleh diamalkan karena haditsnya lemah.
Menepis syubhat I
Sebagian orang berkilah bahwa Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan, sehingga hadits mengadzankan bayi boleh kita amalkan.
Jawab : kita jawab dengan beberapa jawaban berikut ini :
Jawaban I : klaim bahwa para ulama telah bersepakat tidak benar, karena banyak ulama yang tidak membolehkan mengamalkan hadits dlo’if walaupun dalam fadlilah amalan, diantaranya adalah Al Bukhori, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar Ibnul ‘Arobi dan lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jamaluddin Al Qosimi dalam kitab Qowa’id Tahdits hal 94 dan kepada pendapat ini Ibnu Hajar condong. dan inilah pendapat yang benar karena hadits dlo’if itu hanyalah menghasilkan dzonn yang marjuh (lemah) dan dzonn yang marjuh tidak boleh diamalkan dengan kesepakatan ulama, demikian kata Syeikh Al Bani (lihat Tamamul Minnah hal 34-38. penting).
Jawaban II : bahwa maksud Imam An nawawi adalah hadits dlo’if yang ditunjukkan oleh dalil lain yang shohih, Syeikh Ali Al Qori dalam kitabnya Al Mirqot (2/381) berkata :” perkataan beliau :” sesungguhnya hadits dlo’if boleh diamalkan dalam fadlilah amalan secara ijma sebagaimana yang dikatakan oleh An nawawi maksudnya adalah fadlilah dari amalan yang shohih dari Al Qur’an dan Assunnah “.
Jawaban III : Ibnu hajar dalam Tabyinul ‘ajab (hal 3-4) memberikan syarat bolehnya mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan dengan tiga syarat Yaitu ; hadits tersebut tidak boleh palsu, dan orang yang mangamalkannya wajib mengetahui bahwa hadits tersebut dlo’if, dan tidak boleh memasyhurkan amalan tersebut “. Dan tiga syarat ini tidak dipenuhi oleh banyak orang yang mengamalkan hadits dlo’if dalam fadlilah amalan.
Jawaban IV : Ibnu Hajar berkata :” Tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits baik dalam masalah hukum maupun fadlilah amalan, karena semuanya adalah syari’at “. (Tabyinul ‘ajab hal 4). Disini beliau menegaskan tidak adanya perbedaan antara masalah hukum dengan fadlilah, sedangkan para ulama bersepakat haramnya mengamalkan hadits dlo’if dalam masalah hukum. Ibnu Taimiyah berkata :” sesungguhnya suatu amal apabila diketahui pensyari’atannya dengan dalil syar’I, lalu ada hadits mengenai keutamaan amal tersebut selama tidak palsu, bolehlah pahala tersebut menjadi benar, dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata : sesungguhnya boleh menghukumi sesuatu itu wajib atau sunnah berdasarkan hadits dlo’if. Barang siapa yang mengatakan dengan perkataan ini maka ia telah menyalahi ijma’ ulama “. (Majmu’ fatawa 1/251).
Menepis syubhat II
Sebagian orang berkata bahwa Syeikh Muhammad Nashruddin Al bani menghasankan hadits tersebut dalam kitab beliau yaitu Irwaul gholil.
Jawab : beliau telah rujuk dari pendapatnya tersebut dalam kitab lain yaitu silsilah hadits dlo’ifah (1/494 no 321) beliau berkata :” Sekarang saya berkata : sesungguhnya kitab Syu’abul iman telah dicetak, ternyata ia (hadits Ibnu Abbas) tidak layak untuk dijadikan syahid, karena padanya terdapat rowi kadzdzab dan rowi matruk. Dan aku merasa heran kepada Al baihaqi dan Ibnul Qoyyim yang hanya sebatas menghukuminya sebagai hadits yang dlo’if sehingga hampir-hampir aku memastikan bahwa hadits Ibnu Abbas boleh dijadikan syahid. Maka saya wajib mengingatkannya disini…”.
Menepis syubhat III
Sebagian orang berkata bahwa masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, maka boleh kita amalkan selama itu masih diperselisihkan.
Jawab : sesungguhnya perselisihan ulama bukan dalil untuk membolehkan, yang menjadi dalil adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedangkan telah kita jelaskan bahwa dalilnya dlo’if tidak bisa dijadikan hujjah. Al Imam Al Khoththobi mengomentari perkataan sebagian orang yang berkata bahwa ketika Ulama berselisih dalam masalah minuman keras dan bersepakat mengharamkan arak dari anggur, maka kita ambil yang disepakati dan kita bolehkan selainnya “. Berliau berkata :” Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RosulNya …. (A’lam assunan 3/2091-2092).
Tanya: Ustad ana tanya yg elementer. 1. Dzon maksudnya apa? 2. Siapakah yg bisa disebut Imam, mereka yg mempunyai kitab sj atau apa? 3. Kesepakatan ulama, sering disebut, maksudnya mereka pendapatnya sama atau ketemu utk menyampaikan pendapat masing2? 4. Tentang hadist doif, ada ulama yg menghasankan atau menshohehkan: sikap kita harus bgmn? Afwan ana banyak tanya, krn memang awam
Jawab: Dzon artinya dugaan
2. Imam itu ulama yg sangat dalam ilmunya dan menjadi rujukan banyak ulama dan mempunyai banyak pengikut
3. Kesepakatan ulama diseluruh dunia, dan tdk trjadi rapat atau pertemuan biasanya, karena berjauhan trutama tempo doeloe
Klu di zaman ini bisa saja terjadi. Sikap kita adalah melihat dalil yg dikemukakan mana yg paling unggul. Jika tdk bisa, kita ikuti yg paling ‘alim.

Hanya amalan ini yang dilakukan Rasul pada seorang bayi yang baru lahir :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ
وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِي مُوسَى
(BUKHARI - 5730) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata; "Aku pernah memliki seorang anak yang baru lahir, lalu aku serahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya (mengunyahkan kurma kemudian menyuapkan ke mulut bayi) dengan kurma, setelah itu beliau mendo'akannya dengan keberkahan, lalu beliau mengembalikannya kepadaku." Dan dia (anak tersebut) adalah anak yang paling besar dari anaknya Abu Musa."
HADIST MUSLIM NO - 3997
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan 'Abdullah bin Barrad Al Asy'ari dan Abu Kuraib ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa ia berkata; Aku melahirkan seorang anak laki-laki, lalu aku bawa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menamainya dengan nama 'Ibrahim' dan beliau mengunyahkan kurma untuknya.


Sumber :
Islam Kaffah
Hanya amalan ini yang dilakukan Rasul pada seorang bayi yang baru lahir :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ

وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِي مُوسَى

(BUKHARI - 5730) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata; "Aku pernah memliki seorang anak yang baru lahir, lalu aku serahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya (mengunyahkan kurma kemudian menyuapkan ke mulut bayi) dengan kurma, setelah itu beliau mendo'akannya dengan keberkahan, lalu beliau mengembalikannya kepadaku." Dan dia (anak tersebut) adalah anak yang paling besar dari anaknya Abu Musa."


HADIST MUSLIM NO - 3997

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ الْأَشْعَرِيُّ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan 'Abdullah bin Barrad Al Asy'ari dan Abu Kuraib ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa ia berkata; Aku melahirkan seorang anak laki-laki, lalu aku bawa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menamainya dengan nama 'Ibrahim' dan beliau mengunyahkan kurma untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar